Oleh: Karyudi Sutajah Putra - Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Ibarat seorang petinju, DPR baru terkena pukulan “jab” saja sudah angkat tangan. Itu belum pukulan “hook” atau “upper cut”.
Ya, DPR langsung menyerah begitu saja saat didemo ribuan massa yang terdiri atas mahasiswa, buruh, komika, selebritas dan tokoh-tokoh lainnya.
Ada pemain film kenamaan Reza Rahadian dan mantan Menteri Perdagangan Thomas Lembong di sana, di Kompleks DPR/DPD/MPR RI, Senayan, Jakarta, saat unjuk rasa menentang revisi Undang-Undang No 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota, atau UU Pilkada, Kamis (22/8/2024).
Aksi demo dengan tuntutan yang sama juga terjadi di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, yang dihadiri mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang sekaligus membacakan doa.
Di sejumlah daerah di Indonesia, aksi-aksi demonstrasi dengan tujuan yang sama juga marak. Termasuk di Kantor DPRD Jawa Tengah di Semarang, di mana massa berhasil menjebol pagar gedung Dewan seperti yang terjadi di Senayan.
Bahkan di Tasikmalaya, Jawa Barat, massa berhasil menduduki ruang rapat Kantor DPRD setempat.
Di Solo, Jateng, kota asal Presiden Jokowi, juga terjadi aksi unjuk rasa dengan tuntutan yang sama di balaikota yang pernah dihuni Jokowi dan putra sulungnya yang kini jadi wakil presiden terpilih, Gibran Rakabuming Raka.
Tak Biasa
Tak biasanya DPR menyerah begitu saja. Galibnya aksi-aksi demonstrasi semacam itu, bahkan dengan jumlah massa yang jauh lebih besar dan bergelombang berhari-hari pun DPR bergeming.
Para wakil rakyat menganggap aksi-aksi unjuk rasa itu bak angin lalu saja. Contohnya saat demo menentang pengesahan UU Cipta Kerja beberapa waktu lalu.
Adapun aksi unjuk rasa kali ini adalah menolak pengesahan revisi UU Pilkada yang menurut rencana akan disahkan DPR dalam rapat paripurna, Kamis (22/8/2024) lalu.
Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR sudah berhasil membegal Putusan MK No 60/PUU-XXII/2024 dan No 70/PUU-XXII/2024 tertanggal 20 Agustus 2024 melalui revisi UU Pilkada yang disepakati dalam rapat yang berlangsung sangat kilat atau kurang dari 7 jam, Rabu (21/8/2024). Revisi UU Pilkada itu pun tinggal disahkan. Namun, publik menolak.
Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad kemudian mengumumkan revisi UU Pilkada dibatalkan, dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) akan berpedoman pada Putusan MK 60/2024 dan 70/2024 dalam menyusun Peraturan KPU yang akan mengatur Pilkada 2024.
Maka para pengunjuk rasa pun berangsur-angsur bubar, meskipun ada ratusan lainnya yang ditangkap aparat keamanan.
Putusan MK 60/2024 memberikan kelonggaaran “treshold” atau ambang batas pencalonan kepala daerah untuk semua partai politik, baik yang punya kursi di DPRD atau pun yang tidak.
Yang penting, parpol punya suara 6,5 persen hingga 10 persen sesuai jumlah penduduk di suatu provinsi/kabupaten/kota bersangkutan hasil Pemilu 2024.
Aturan baru ini mematahkan hegemoni parpol-parpol yang membentuk semacam oligarki yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) yang merupakan pendukung calon presiden-wakil presiden, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka di Pilpres 2024, dan kini berlanjut ke Pilkada 2024.
Aturan baru tersebut juga akan memunculkan banyaknya calon dari semua parpol, sehingga kemungkinan muncul calon tunggal untuk melawan kotak kosong di Pilkada 2024 akan tereliminasi. Dinasti politik pun akan terjegal.
Putusan MK 70/2024 tersebut coba dibegal DPR melalui revisi UU Pilkada dengan klausul ambang batas 6,5 persen hingga 10 persen suara itu hanya berlaku bagi parpol yang tidak punya kursi di DPRD.
Sedangkan bagi parpol yang punya kursi di DPRD, syarat minimalnya adalah 20 persen kursi atau 25 persen suara sah hasil Pemilu 2024 di daerah bersangkutan.
Adapun Putusan MK 70/2024 menutup peluang kandidat yang belum berumur 30 tahun untuk pilgub dan 25 tahun untuk pilbup/pilwakot maju sebagai calon.
Sebab, umur kandidat dihitung pada saat penetapan calon, bukan pada saat pelantikan calon terpilih sebagaimana Putusan Mahkamah Agung (MA) No 23 P/HUM/2024 tertanggal 29 Mei 2024.
Aturan baru MK ini menutup peluang Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Jokowi, menjadi cagub/cawagub.
Aturan yang bisa mematahkan dinasti politik ini kemudian ditorpedo oleh DPR melalui revisi UU Pilkada.
Baleg menolak mengakomodasi Putusan MK 70/2024, dan sebaliknya menggunakan Putusan MA 23 P/2024.
Artinya, Kaesang yang baru akan berumur 30 tahun pada 25 Desember nanti bisa maju karena usianya dihitung per tanggal pelantikan calon terpilih, bukan per penetapan calon saat mendaftar.
Pendaftaran akan dibuka pada 27 Agustus nanti dan pemungutan suara akan digelar pada 27 November mendatang.
Lalu, mengapa DPR gampang menyerah, tak seperti lazimnya ngotot? Ada sejumlah faktor.
Pertama, dan ini yang paling gawat, mulai hilangnya pamor seseorang yang oleh Ketua Umum Partai Golkar Bahlil Lahadalia disebut sebagai “Raja Jawa yang ngeri-ngeri sedap, dan bila ada yang main-main dengannya maka kita bisa celaka”. Kini DPR tidak takut lagi kepada Raja Jawa itu.
Secara denotatif, pamor berarti berkas atau guratan terang pada bilah senjata dari logam, seperti Keris, misalnya.
Pamor muncul akibat pencampuran dua atau lebih material logam yang berbeda. Makin bagus pamor, Keris akan makin bertuah dan menarik.
Secara konotatif, pamor bisa bermakna kharisma, wibawa, pesona, popularitas atau pengaruh seseorang.
Lunturnya pamor Raja Jawa itu tercermin dari tidak ngototnya KIM untuk memaksakan rapat paripurna pengesahan revisi UU Pilkada.
Pun, tercermin dari mantan-mantan menteri yang rela turun ke jalanan seperti Thomas Lembong dan Lukman Hakim Saifuddin.
Juga tercermin dari kesiapan KPU yang hendak menggunakan Putusan MK 60/2024 dan 70/2024 sebagai acuan dalam menyusun PKPU yang akan menjadi pedoman penyelenggaraan Pilkada 2024.
Dan ini yang tak kalah gawat, tidak takutnya lagi Menteri Pertahanan Prabowo Subianto kepada Raja Jawa itu.
Buktinya, Presiden terpilih yang juga Ketua Umum Partai Gerindra itu mencalonkan Taj Yasin, mantan wakil gubernur di era Ganjar Pranowo, sebagai calon wakil gubernurnya Ahmad Luthfi di Pilkada Jateng 2024.
Semula santer terdengar kabar kursi cawagub Jateng bakal diprioritaskan bagi putra bungsu Raja Jawa itu.
Di sinilah patut diduga mulai terjadi friksi antara Prabowo Subianto dan sang Raja Jawa.
Kedua, sebagian besar wakil rakyat masih memiliki akal sehat. Simak saja pernyataan Ketua DPR Puan Maharani.
Kata Ketua DPP PDIP itu, sumber kekuasaan DPR adalah rakyat, sehingga DPR akan tunduk pada aspirasi rakyat. Negara demokrasi akan mengikuti suara rakyatnya.
Jika mayoritas wakil rakyat sudah kehilangan akal sehat, niscaya rapat paripurna pengesahan revisi UU Pilkada akan mencapai kuorum, sehingga tak perlu ditunda dan akhirnya dibatalkan. Sebab mayoritas anggota DPR hadir mendukung.
Ketiga, oligarki parpol-parpol di DPR mulai goyah. Mereka mulai seirama dengan PDIP yang “keukeuh” sendirian menolak revisi UU Pilkada.
Lalu, apalah artinya hilangnya pamor Raja Jawa itu, toh hanya kurang dari dua bulan lagi yang bersangkutan akan lengser, sehingga tak berdampak apa-apa, karena akan lengser-lengser juga pada akhirnya?
Asumsi semacam itu sah-sah saja. Tapi yang lebih substansial adalah tidak adanya lagi dukungan rakyat. Ia kini bukan lagi seorang pemimpin yang dicintai rakyatnya gegara ambisinya yang kelewat batas.
Ia ibarat “lame duck” atau bebek lumpuh. Dia memang masih bermahkota, tapi pamornya sudah meredup bahkan tidak ada.
Turun takhta dalam kondisi masih dicintai rakyat akan berbeda dengan dalam kondisi sudah tidak dicintai rakyat.
Semua akan “ngundhuh wohing pakarti”. Berlaku hukum kausalitas, sebab-akibat, tabur-tuai. Siapa menabur angin, dia akan menuai badai. Dan badai itu tak akan mudah berlalu. ***