Oleh: Karyudi Sutajah Putra - Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)
Ente jual, ane beli. Demikianlah yang terjadi antara Garda Bangsa dan Barisan Ansor Serba Guna (Banser). Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) versus Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun di ambang perang saudara alias Perang Bharatayuda. Perang sesungguhnya secara fisik.
Garda Bangsa adalah “pasukan” milik PKB. Banser adalah “pasukan” milik PBNU.
Pemicu rencana perang saudara tersebut adalah Muktamar PKB tandingan yang sedang diinisiasi bekas Sekretaris Jenderal PKB Lukman Edy yang rencananya akan digelar di Jakarta awal September ini.
PKB sendiri sebenarnya sudah menggelar Muktamar VI di Bali, 24-25 Agustus lalu, yang menetapkan kembali Muhaimin Iskandar sebagai Ketua Umum.
Adalah Ketua Umum Garda Bangsa Tommy Kurniawan yang menegaskan tak segan membubarkan secara paksa Muktamar PKB tandingan. Katanya, kalau memang skenarionya adalah perang maka mereka siap. Garda Bangsa seluruh Indonesia sudah menunggu komando, kalau sudah harus perang maka mereka siap perang, siap melawan.
Seperti berbalas pantun “ente jual, ane beli”, Ketua Umum Pagar Nusa Nabil Haroen pun menerima tantangan perang Garda Bangsa itu. Katanya, Pagar Nusa siap menerima tantangan perang apabila dalam proses “tabayyun” (klarifikasi) nanti betul-betul Garda Bangsa mengajak perang.
Kalau mau konfrontasi fisik, katanya, Banser dan Pagar Nusa siap-siap saja, kita borong. Tinggal Garda Bangsa tentukan waktu dan tempatnya, kapan dan di mana.
Pagar Nusa adalah Badan Otonom NU sebagaimana Banser.
Kepala Satkornas Banser Syafiq Syauqi pun senada. Hanya saja, ia merasa gertakan dari Garda Bangsa itu harus dipertanyakan maksud sebenarnya, sehingga tidak menimbulkan persepsi yang membingungkan dan menyesatkan.
Residu Konflik Internal PKB
Sejak Yahya Cholil Staquf alias Gus Yahya terpilih menjadi Ketua Umum PBNU tahun 2021 lalu, hubungan PBNU dengan PKB langsung memanas.
Hal ini tak terlepas dari residu konflik internal PKB di masa lalu antara kubu KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dan kubu Muhaimin Iskandar alias Cak Imin yang akhirnya dimenangkan Cak Imin.
Saat konflik terjadi, Gus Yahya ada di kubu Gus Dur. Maklum, saat Gus Dur jadi Presiden RI, Gus Yahya adalah salah satu juru bicaranya.
Hubungan PBNU vs PKB kian memanas saat perhelatan Pemilihan Presiden 2024 di mana PBNU tidak mendukung Cak Imin yang maju sebagai calon wakil presiden dari capres Anies Baswedan. Bahkan secara implisit Cak Imin menuding Gus Yahya menggembosi PKB dan dirinya.
Hubungan PBNU vs PKB kemudian mencapai titik didih ketika bergulir Panitia Khusus (Pansus) Haji di DPR yang salah satu inisiatornya adalah Cak Imin yang menjabat Tim Pengawasan Haji sekaligus Wakil Ketua DPR.
PBNU kemudian merespons hal itu dengan membentuk tim khusus untuk mengkaji hubungan NU dengan PKB yang dikenal dengan Tim Lima.
Tim Lima ini hendak mengambil alih kepemimpinan Cak Imin di PKB yang dianggap sudah melenceng dari “khittah” didirikannya PKB pada 23 Juli 1998 oleh Gus Dur dan tokoh NU lainnya.
Gus Yahya menganggap pembentukan Pansus Haji untuk menyerang Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas alias Gus Yaqut yang tak lain adik kandungnya. Namun tuduhan itu ditepis Cak Imin.
Akankah PBNU vs PKB benar-benar terlibat perang sesungguhnya dengan melibatkan “pasukan” masing-masing?
Jika Muktamar PKB tandingan jadi digelar, hal itu bukan sesuatu yang mustahil. Akan benar-benar terjadi perang saudara seperti Perang Bharatayuda antara Pandawa dan Kurawa yang berasal dari satu keturunan.
NU dan PKB pun berasal dari satu keturunan atau nazab, yakni “ahlussunnah waljamaah”. Bahkan kelahiran PKB dibidani NU.
Sayangnya, Cak Imin mencoba memisahkan PKB dari NU dengan menyatakan tak ada hubungan organisatoris PKB dengan NU.
Sebab NU adalah organisasi kemasyarakatan (ormas), sedangkan PKB adalah partai politik. NU diatur UU Ormas, PKB diatur UU Parpol. Akibatnya, Cak Imin dicap sebagai anak durhaka seperti Malin Kundang.
Kalau sudah begini, bola ada di tangan pemerintah. Apakah pemerintah akan mengizinkan Muktamar PKB tandingan atau tidak. Kalau mengizinkan, berarti perang saudara antar-sesama NU sudah di ambang pintu.
Jika kita cermati, selama ini pemerintah memang memberi angin bagi munculnya PKB tandingan. Sebab itu, Gus Yaqut pun percaya diri akan terselenggaranya Muktamar PKB tandingan.
Apalagi, katanya, yang akan menentukan pengurus PKB mana yang sah adalah Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) yang saat ini dijabat Supratman Andi Agtas, kader Partai Gerindra.
Sementara Cak Imin sendiri harap-harap cemas antara dikerjai pemerintah atau tidak. Padahal, dalam Muktamar VI PKB di Bali itu, partai 13 juta umat ini sudah menyatakan bergabung dengan pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka yang akan dilantik pada 20 Oktober nanti.
Namun, melihat “track records” atau rekam jejak Cak Imin yang suka “leda-lede” dan “mencla-mencle”, Presiden Jokowi dan calon penggantinya Prabowo pun tidak begitu saja percaya. Hal itu pun sudah diperingatkan Prabowo agar PKB jangan pergi lagi kalau sudah bergabung.
Maka konflik PKB vs PBNU ini dapat dimanfaatkan Jokowi dan Prabowo untuk mengerjai Cak Imin. Bahkan bisa saja PKB akan “digergaji” Jokowi seperti Partai Golkar.
Selain di tangan pemerintah, bola konflik PBNU vs PKB apakah akan berujung pada konfrontasi fisik atau tidak juga berada di tangan Gus Yahya dan Cak Imin.
Jika keduanya melarang “pasukan” masing-masing turun ke lapangan, niscaya tak akan terjadi perang Bharatayuda versi Nahdliyin itu.
Para personel Garda Bangsa, Banser dan Pagar Nusa adalah anak-anak muda yang gampang tersulut emosinya. Namun mereka juga taat kepada pemimpinnya. Seemosi apa pun jika pemimpinnya tidak menyuruh perang, mereka tidak akan perang.
Alhasil, dari konflik PBNU vs PKB ini ada benang merah yang bisa kita tarik. Apa itu? Gus Yahya mempersonifikasi PBNU sebagai dirinya, dan juga menginstitusionalisasi dirinya sebagai PBNU. Begitu pun Cak Imin. Ia mempersonifikasi PKB sebagai dirinya, dan juga menginstitusionalisasi dirinya sebagai PKB.
Lalu, apa yang kalian cari Gus Yahya dan Cak Imin? Berebut kuasa demi ego atau sekadar sesuap nasi, atau demi kesejahteraan umat dan konstituen?
Jika nekad perang, kalian akan mati “sampyuh” atau sama-sama “mati”, menang jadi arang, kalah jadi abu.
Pun, ibarat “rebut balung tanpa isi” (berebut tulang tanpa sumsum).
Lebih tragis lagi, pihak-pihak di luar NU akan menertawakan bahkan mencibir kalian.
Akan tetapi, tak dapat dipungkiri, kursi kekuasaan memang empuk, Gus dan Cak!