Anggota Komisi I DPR RI fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sukamta meminta pemerintah meningkatkan keamanan siber dan keamanan data pribadi masyarakat secepatnya.
Hal ini merespons hacker atau peretas Bjorka diduga membocorkan 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) di dark web.
Apalagi kebocoran data tersebut termasuk milik Presiden Joko Widodo (Jokowi) Gibran Rakabuming Raka, Kaesang Pangarep, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie, hingga Menteri Keuangan Sri Mulyani.
"Ini merupakan ancaman serius, tidak hanya bagi privasi individu tetapi juga bagi keamanan nasional. Kasus ini adalah bukti nyata bahwa keamanan siber di Indonesia masih sangat rentan," kata Sukamta, dalam keterangannya pada Jumat (20/9/2024).
Sukamta meminta pemerintah untuk melakukan investigasi terhadap masalah kebocoran data NPWP tersebut.
“Selain evaluasi, pemerintah juga harus melakukan investigasi internal untuk mengetahui kelemahan dari sistem data yang dimilikinya,” ujarnya.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 4 Jam Geledah Rumah Komisaris Bank Jatim Eks Kepala Bappeda Jatim
Dia juga meminta pemerintah memberikan penjelasan yang detail kepada masyarakat mengenai kebocoran data ini.
Menurut Sukamta, hal tersebut bertujuan agar masyarakat merasa lebih aman terkait informasi data yang bocor.
"Jika kebocoran terus terjadi dan tidak ada penjelasan, maka kepercayaan masyarakat akan sulit untuk dipulihkan," tegasnya.
Data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan sepanjang tahun 2019 hingga 14 Mei 2024 sudah ada 111 kasus kebocoran data yang ditangani.
Hal itu membuat Indonesia masuk ke dalam 10 negara dengan kebocoran data terbesar dalam kurun waktu dari Januari 2020-Januari 2024 menurut Surfshark, perusahaan virtual private network (VPN) asal Belanda.
Indonesia juga menjadi negara dengan kebocoran data terbanyak ke-8 di dunia dengan estimasi 94,22 juta akun bocor.
Karenanya, Sukamta menilai keamanan siber bukanlah masalah yang bisa dianggap remeh dalam era digital ini.
Dia mengingatkan pentingnya negara segera membentuk lembaga Otoritas Perlindungan Data Pribadi (OPDP) sebagaimana amanat UU No 27 tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP).
"Saya sudah berulang kali menyampaikan untuk segera keluarkan aturan pembentukan lembaga PDP. Banyaknya kasus kebocoran data yang bahkan penegakan hukumnya pun jarang ada kejelasan menunjukkan Indonesia sudah sangat membutuhkan lembaga perlindungan data,” tegas Sukamta.
Sukamta menekankan pentingnya merekrut tenaga IT yang berkompeten untuk membantu negara agar sistem tidak mudah diretas.
Sepanjang tahun 2024 sudah ada beberapa kasus kebocoran data yang dialami pemerintah, antara lain kebocoran data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yaitu Pusat Data Nasional Sementara (PDNS) 2.
Selain itu, menimpa Inafis Polri hingga Badan Intelijen Strategis (BAIS) TNI yang menjadi korban hacker bernama MoonzHaxor di situs BreachForums.
Tak hanya itu, data-data ASN juga diretas dan ditawarkan hacker di BreachForums, sebuah forum jual-beli hasil peretasan, seharga US$ 10 ribu atau sekitar Rp 160 juta.
Peretas mengklaim mendapatkan data dari BKN sejumlah 4.759.218 baris.
“Masalah kebocoran data pribadi sudah tidak main-main lagi. Kita harapkan komitmen pemerintah dan institusi terkait untuk mau berbenah diri demi keamanan data masyarakat Indonesia,” imbuh Sukamta.