Masih ingat dengan postingan gambar salah satu humor kritis di media sosial berupa sebungkus mie instan bergambar wajah Gibran Rakabuming Raka yang pada kemasannya bertuliskan ‘Calon Wakil Presiden Instan’? Kritik ini cukup mewakili perasaan publik hingga saat ini ketika semakin dekat Gibran dilantik sebagai wakil presiden mendampingi Prabowo Subianto.
Anggapan publik seperti ini tak bisa dinafikan akan membuat langkah dan beban di pundak Gibran bakal berat. Ia akan sulit terlepas dari cap wakil presiden instan hasil nepotisme dan pelanggaran konstitusi.
Image yang melekat pada dirinya ini kemudian memunculkan pertanyaan tentang kesiapan mantan wali kota ini melangkah ke panggung nasional. Meskipun jabatan wakil presiden adalah posisi yang kekuasaan dan pengaruhnya terbatas, namun Gibran berusaha menepis anggapan publik dan menyatakan keyakinannya bahwa dia siap untuk berperan lebih banyak secara nasional.
"Tiga bulan yang lalu saya itu bukan siapa-siapa, bapak/ibu sekalian. Saya masih dikatain planga-plongo, dikatain Samsul, dikatain takut debat," ujar Gibran saat pidato kemenangannya, Februari lalu. “Tapi satu hal yang pasti, berkat dukungan doa bapak/ibu semua, saya dan Pak Prabowo sekarang sudah ada di sini.”
Peran Wapres sebagai Ban Serep?
Dalam Undang-undang Dasar 1945 tugas dan fungsi Wakil Presiden tak pernah disebut secara rinci. Konstitusi hanya menyebutkan bahwa, "Dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden". Peran dan fungsi wakil presiden akan muncul bila seorang presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajiban dalam masa jabatannya.
Tak heran jika kemudian ada anggapan bahwa wakil presiden hanya sekadar 'ban serep'. Di masa Orde Lama, peran dan fungsi Wapres nyaris tak terdengar. Presiden-lah yang menjadi tokoh utama. Bahkan Presiden Sukarno selama hampir sepuluh tahun tak memiliki wakil presiden setelah Mohammad Hatta mengundurkan diri pada 1956 dan tak ada penggantinya hingga presiden pertama itu lengser pada Maret 1968.
Saat beralih ke orde baru, Presiden Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun memiliki sejumlah wakil presiden seperti Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Adam Malik, Umar Wirahadikusumah, Sudharmono, Try Soetrisno hingga BJ Habibie. Peran wapres ketika itu tak jauh berbeda dengan era orde lama.
Peran Wapres yang lebih terlihat di era Abdurahman Wahid dengan wakil presiden Megawati Soekarnoputri. Lembaga kesekretariatan wakil presiden diperkuat apalagi PDI Perjuangan yang dipimpin Megawati memiliki suara tinggi di Parlemen sehingga sebagai Wapres bisa menjalankan peran dan fungsi penting sebagai orang nomor 2 di Indonesia. Hal yang hampir serupa terjadi di masa kekuasaan Megawati Soekarnoputri-Hamzah Haz.
Keterlibatan Wapres lebih besar juga terjadi di era Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla (2004-2009). JK terlibat dalam sejumlah pengambilan kebijakan dan ikut menjalankan tugas-tugas pemerintahan. Sebagai wapres, peran JK di bidang ekonomi dan mewujudkan perdamaian di Aceh sangat terasa.
Di Era Joko Widodo (Jokowi) periode kedua bersama Maruf Amin, terlihat peran dan fungsi seorang wakil presiden masih kalah pamor ketimbang para menteri kepercayaan kepala negara. Dalam beberapa persoalan, Jokowi lebih sering menyerahkan urusan kepada Menko Luhut B Panjaitan.
Kebijakan Ban Serep Bakal Berlanjut?
Lantas apakah Prabowo akan memarkir Gibran sebagai Wapres? Ataukah memberikan peran lebih besar dan menjadi pemicu berbagai kebijakan inovatif pemerintah layaknya mesin turbo pada sebuah kendaraan?
Gibran bagi Prabowo dianggap sebagai pendongkrak suara sehingga bisa menang dalam satu putaran pada Pilpres 14 Februari lalu. Walaupun sulit untuk dibantah kemenangan ini juga karena endorsement kuat dari sang ayah, Jokowi.
Prabowo sebagai presiden terpilih periode 2024-2029 sudah menjanjikan peran lebih besar kepada Gibran di pemerintahannya. Prabowo bakal menjadikan Wapres sebagai pendamping saat menetapkan kebijakan.
Ketua Umum Partai Gerindra itu mengibaratkan negara sebagai sebuah organisasi dengan banyak staf yang berkewajiban memberi saran dan keterangan diminta atau tidak. Sementara keputusan tetap di tangan pemimpin. "Wakil presiden termasuk staf dipilih tetapi dia termasuk stafnya presiden, wakil wajib memberi saran diminta atau diminta gitu," ungkap Prabowo, dalam sebuah kesempatan.
Keberadaan Gibran sudah menjadi kekuatan simbolik atas janji Prabowo memberi ruang politik pada anak muda. “Dalam ruang konstitusional, Gibran akan berperan sebagai pada ruang gerak yang sangat terbatas bahkan nihil dari sisi kewenangan membuat kebijakan, tapi cukup lapang secara langkah politik,” kata Arief Budiman, chief Political Officer dari Political Strategy Group (PSG).
Ini karena, Gibran punya ruang gerak besar untuk menjelma penuh sebagai kepanjangan tangan Jokowi. Gibran sepertinya tak akan mengambil posisi seperti Ma’ruf Amin yang lebih banyak menepi dalam urusan politik.
Gibran akan berusaha tampil menjadi figur politik sentral melalui permainan simbolik yang selama ini menjadi kekuatan utamanya dibantu sang ayah yang juga masih ingin memiliki pengaruh di pemerintah mendatang. Gibran bakal berusaha mengorkestrasi isu politik praktis secara lebih luas melalui parpol-parpol meskipun melihat dari minimnya pengalamannya akan berjalan lambat dan sulit.
Karena minimnya pengalaman politik ini, pakar politik dan keamanan internasional Universitas Murdoch dari Australia, Ian Wilson, malah menyebut Gibran akan bernasib sama seperti Ma'ruf Amin. "Dan kalau untuk Wapres Gibran apakah mereka berpengaruh? Tidak sama sekali. Itu semuanya tergantung ke presiden," ungkap dia, mengutip CNN.
Peran pasif wapres, lanjut dia, bisa jadi merupakan bagian kesepakatan politik antara presiden terpilih dengan koalisinya. Dia juga memandang peran Gibran sebagai Wali Kota Solo dengan popularitasnya masih belum cukup untuk memberi pengaruh ke publik.
Potensi Friksi Keduanya
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah akankah Prabowo-Gibran ini seiring sejalan hingga akhir pemerintahannya? Untuk menjawab masalah ini tentu saja kembali kepada seberapa baik, dan berapa lama, aliansi Prabowo dengan Jokowi akan bertahan.
"Akan bertahan selama Prabowo menilai bahwa hal ini sesuai kepentingannya," kata Liam Gammon, dari Universitas Nasional Australia (ANU), tentang aliansi yang tidak stabil antara kedua mantan rival tersebut. "Jika hal ini tidak lagi terjadi, saya perkirakan Jokowi akan segera terpinggirkan," katanya mengutip Reuters.
Saat kampanye hingga sebelum dilantik, Prabowo telah menjanjikan ‘kontinuitas’ kebijakan antara pemerintah Jokowi dengan dirinya. Namun harus diingat bahwa “Keberpihakan Prabowo dengan Jokowi lebih merupakan strategi elektoral, bukan strategi pemerintahan," kata Doug Ramage dari BowerGroupAsia. "Jangan salah, seorang Presiden Prabowo akan menjadi presidennya sendiri."
Perbedaan pendapat bisa saja muncul mulai dari pengangkatan anggota kabinet, proyek Ibu Kota Nusantara (IKN), pengeluaran militer dan layanan sosial, serta penempatan anggota keluarga dalam pemerintahan, semuanya dapat menyebabkan memburuknya hubungan.
"Semua ini merupakan hal-hal yang berpotensi menimbulkan keretakan di antara mereka karena pengaturan ini, yakni presiden yang akan lengser mengharapkan kelanjutan dari penggantinya. Harus diingat latar belakang mereka sangat berbeda," jelas analis politik Kevin O'Rourke.
Situasi ini akan berpengaruh pada relasi presiden dengan wapres, antara Prabowo dan Gibran. Yang jelas peran Gibran dalam mendampingi Prabowo akan menciptakan dinamika baru dalam politik Indonesia. Bukan tidak mungkin malah menimbulkan kerumitan dan tantangan baru dalam pemerintahan mendatang.