Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menjalankan dua periode kepemimpinannya dengan berbagai kebijakan dan manuver yang kerap menimbulkan kontroversi.
Salah satu kebijakan paling monumental yang ia perkenalkan adalah pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) dari Jakarta ke Kalimantan Timur.
Langkah ini tidak hanya dilihat sebagai terobosan besar dalam sejarah Indonesia, tetapi juga sebagai upaya untuk mendistribusikan pusat kekuasaan dan pembangunan yang selama ini terkonsentrasi di Pulau Jawa.
Namun, seperti banyak kebijakan lain dalam era kepemimpinan Jokowi, implementasi pemindahan ibu kota ini tidak berjalan mulus dan penuh dengan masalah serta pertanyaan mendasar, terutama terkait dengan kejelasan status hukum Jakarta dan IKN.
Jakarta Bukan Ibu Kota Lagi, Tetapi IKN Juga Belum Resmi?
Pada prinsipnya, Undang-Undang Ibu Kota Negara sudah disahkan oleh DPR pada awal 2022, yang menyatakan bahwa Jakarta tidak lagi menjadi ibu kota negara setelah pemindahan resmi dilakukan.
Namun, hingga kini, perintah final untuk memindahkan ibu kota tersebut melalui Keputusan Presiden (Keppres) belum diteken oleh Jokowi.
Padahal, Keppres ini adalah dokumen resmi yang diperlukan untuk meresmikan perpindahan dan status IKN sebagai pusat pemerintahan baru Indonesia.
Kelambatan ini menimbulkan tanda tanya besar. Mengapa Jokowi belum meneken Keppres tersebut? Apakah ia ragu untuk memindahkan ibu kota secara penuh?
Apakah proyek IKN yang digadang-gadang sebagai warisan monumental ini belum siap secara infrastruktur dan birokrasi, atau ada alasan lain yang lebih bersifat politis?
Kelakuan Jokowi ini, dalam konteks perpindahan ibu kota, bisa dianggap “jorok” karena ia terlihat setengah hati dalam menjalankan keputusan yang telah dibuatnya sendiri.
Undang-undang sudah ada, namun keputusan administratif tertinggi yang seharusnya menjadi landasan hukum untuk mengimplementasikan perpindahan tersebut malah ditunda.
Dalam banyak kasus lainnya, Jokowi sering menunjukkan pola kelambanan atau ketidakpastian dalam membuat keputusan final. Situasi ini tidak hanya membingungkan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum dan politik bagi bangsa.
Pantas Jika Banyak yang “Mau Jorokin”
Tak mengherankan jika ada banyak pihak yang merasa jengah dan frustrasi dengan cara Jokowi mengelola kebijakan.
Perpindahan ibu kota, yang seharusnya menjadi proyek nasional bersejarah, kini justru terjebak dalam ketidakjelasan.
Hal ini bukan sekadar soal administrasi negara yang terlambat, tetapi juga menyangkut kredibilitas pemerintahan dan konsistensi Jokowi dalam menepati janjinya.
Dalam berbagai aspek lain, perilaku “setengah-setengah” Jokowi ini tampak begitu mencolok. Mulai dari kebijakan ekonomi, pembangunan, hingga penegakan hukum, sering kali terdapat jarak antara janji dan implementasi nyata.
Masyarakat yang melihat ketidakseriusan ini tentu wajar merasa kecewa, hingga melontarkan kritik keras yang kadang berbentuk ejekan atau bahkan ancaman “menjorokkan” Jokowi dari kursi kekuasaan secara simbolis.
Pertanyaan Besar: Prabowo Dilantik di Mana?
Salah satu persoalan terbesar yang muncul akibat ketidakpastian perpindahan ibu kota ini adalah pertanyaan mendasar: Di mana Presiden terpilih Prabowo Subianto akan dilantik? Menurut Undang-Undang Dasar 1945 dan berbagai aturan turunannya, pelantikan presiden harus dilakukan di ibu kota negara.
Namun, saat ini Indonesia terjebak dalam kebingungan, karena Jakarta sudah tidak lagi dianggap sebagai ibu kota sesuai undang-undang, sementara IKN belum resmi menjadi ibu kota karena Keppres belum diteken.
Apakah pelantikan Prabowo akan tetap dilakukan di Jakarta yang sudah kehilangan statusnya sebagai ibu kota, ataukah akan dipindahkan ke lokasi lain yang diatur secara darurat? Atau, mungkinkah Jokowi pada detik-detik terakhir akhirnya meneken Keppres dan menjadikan IKN sebagai ibu kota resmi untuk memenuhi persyaratan pelantikan presiden?
Situasi ini menciptakan dilema konstitusional dan politis yang cukup besar. Jika pelantikan dilakukan di Jakarta, maka secara teknis, hal tersebut bisa dianggap tidak sah, karena Jakarta bukan lagi ibu kota negara.
Di sisi lain, melantik Prabowo di IKN yang belum diresmikan juga menimbulkan masalah, karena fasilitas dan infrastruktur di sana belum sepenuhnya siap.
Keputusan di Tangan Jokowi
Pada akhirnya, semua kembali kepada Jokowi. Sebagai presiden yang masih berkuasa hingga pelantikan Prabowo, Jokowi memegang kendali penuh atas keputusan terkait Keppres IKN.
Namun, seperti yang telah kita lihat dalam banyak aspek lain, Jokowi cenderung menunda-nunda atau menunjukkan ketidakpastian dalam menjalankan keputusan penting.
Apakah ia akan meneken Keppres pada waktu yang tepat untuk memastikan pelantikan Prabowo berlangsung sesuai dengan konstitusi, ataukah kita akan melihat perpanjangan drama politik yang membingungkan ini?
Satu hal yang pasti, kelambatan dan ketidakjelasan Jokowi dalam mengambil keputusan penting seperti ini hanya memperburuk reputasinya di mata publik.
Di tengah tuntutan untuk bergerak cepat dan memastikan transisi kekuasaan berjalan lancar, perilaku Jokowi yang lamban semakin memperkuat anggapan bahwa ia adalah pemimpin yang tidak konsisten, yang terjebak dalam kebijakan setengah hati dan administrasi yang tidak tertata.
Kesimpulan: Ketidakpastian yang Berbahaya
Kisah perpindahan ibu kota yang belum rampung ini adalah simbol dari banyak kegagalan kepemimpinan Jokowi.
Janji besar yang diiringi dengan implementasi yang lambat dan tidak konsisten telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan politik yang berpotensi membahayakan transisi kekuasaan.
Prabowo Subianto, presiden terpilih, kini dihadapkan pada situasi yang absurd: di mana ia akan dilantik? Apakah di Jakarta, yang bukan lagi ibu kota, atau di IKN yang belum sah?
Persoalan ini adalah bukti nyata dari kelakuan Jokowi yang “jorok” dalam menjalankan amanah kepemimpinan, dan bisa jadi akan menjadi warisan negatif bagi kepemimpinan Indonesia di masa depan.
Catatan Penting :
Pelantikan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Dasar 1945, khususnya pada Pasal 9 Ayat 1. Di dalam pasal tersebut dinyatakan bahwa:
“Sebelum memangku jabatannya, Presiden dan Wakil Presiden bersumpah menurut agama, atau berjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam sidang paripurna MPR.”
Namun, meskipun tidak secara eksplisit disebutkan bahwa pelantikan harus dilakukan di “Ibu Kota Negara,” praktiknya, karena MPR dan DPR berkedudukan di ibu kota negara, maka pelantikan Presiden dan Wakil Presiden dilakukan di ibu kota.
Jika ibu kota negara resmi dipindahkan ke Ibu Kota Nusantara (IKN), maka lokasi pelantikan juga berpotensi dipindahkan ke sana, tergantung pada kesiapan fasilitas di lokasi baru tersebut dan penyesuaian aturan terkait.