Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

'Bersatunya Megawati-Prabowo Singkirkan Joko Mulyono Widodo'

Oleh: Karyudi Sutajah Putra

Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI)

Setelah saling berkirim salam hormat, Megawati Soekarnoputri akhirnya dijadwalkan bertemu Prabowo Subianto sebelum Presiden RI terpilih itu dilantik pada 20 Oktober nanti.

Presiden Jokowi pun terancam tersingkir dari lingkaran kekuasaan Prabowo bahkan panggung politik nasional.

Ihwal pertemuan Ketua Umum PDi Perjuangan dengan Ketua Umum Partai Gerindra itu bukan sesuatu yang musykil, mengingat komunikasi keduanya selama ini berjalan lancar dan cair.

Apalagi Prabowo pernah menjadi calon wakil presidennya Megawati saat Presiden ke-5 RI itu maju sebagai capres pada Pemilu 2009.

Keduanya juga saling membutuhkan. Prabowo merupakan penguasa eksekutif setelah memenangi Pilpres 2024.

Megawati merupakan penguasa legislatif setelah partainya memenangi Pemilu 2024, bahkan “hattrick” atau menang tiga kali berturut-turut sejak Pemilu 2014.

Jika keduanya bersatu maka akan terjadi simbiosis mutualisme atau saling menguntungkan, bahkan akan menjadi kekuatan yang dahsyat ketika penguasa eksekutif bersatu dengan penguasa legislatif.

Demi stabilitas pemerintahannya, Prabowo membutuhkan dukungan PDIP di parlemen. Sebaliknya, demi partainya bisa tetap besar, Megawati membutuhkan kursi menteri di kabinet.

Jika PDIP bergabung dengan Prabowo, nyaris dipastikan Partai Banteng itu akan mendapat kursi di kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

Ada ungkapan yang mungkin menginspirasi Megawati: if you can’t beat them, join them. Jika Anda tak bisa memukul mereka, bekerja samalah dengan mereka.

Di sisi lain, Prabowo mulai membuat garis demarkasi dengan Jokowi. Mengapa? Pertama, karena bekas Komandan Jenderal Kopassus itu tak ingin ada “matahari kembar” di pemerintahannya, seperti diingatkan Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono saat menyampaikan pidatonya sebagai Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat dalam acara Hari Ulang Tahun (HUT) ke-23 partainya, Senin (9/9/2024) kemarin.

Kedua, Jokowi kini kondisinya sudah bak bebek lumpuh atau “lame duck”, apalagi setelah lengser pada 20 Oktober nanti. Maklum, Jokowi tidak punya partai politik.

Jokowi sendiri saat pidato di Kongres Partai Nasdem baru-baru ini sudah merasa ditinggalkan oleh sekutu-sekutunya. Ia merasa sudah lumpuh.

Ihwal Prabowo mulai membuat garis demarkasi dengan Jokowi terlihat dari tindakannya memerintahkan Wakil Ketua DPR dari Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad membatalkan revisi Undang-Undang (UU) No 10 Tahun 2016 tentang Pilkada yang sudah disepakati Badan Legislasi DPR dan tinggal mengesahkannya di rapat paripurna, Jumat (22/8/2024).

Prabowo lebih memilih melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No 60 dan No 70 Tahun 2024 yang membuat parpol-parpol luluasa mengusung calon kepala daerah, dan menutup peluang Kaesang Pangarep, putra bungsu Jokowi yang belum berusia 30 tahun maju sebagai calon gubernur/wakil gubernur.

Implikasinya, jika Megawati bersatu dengan Prabowo maka Jokowi pun akan tersingkir. Bukan hanya tersingkir dari lingkaran kekuasaan Prabowo, tapi juga dari panggung politik nasional. Kecuali jika nanti Jokowi bergabung atau membuat parpol sendiri.

Politik Khianat

Apakah Prabowo tidak akan balas budi kepada Jokowi yang telah mendukungnya di Pilpres 2024 sehingga menang?

Balas budi sudah dilakukan Prabowo dengan menggaet putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapresnya di Pilpres 2024.

Apalagi ada adagium di dunia politik, yakni tak ada kawan atau lawan abadi, yang abadi adalah kepentingan.

Jokowi yang punya nama kecil Mulyono pun bisa tertimpa karma politik, yakni dikhianati Prabowo, sebagaimana bekas Gubernur DKI Jakarta dan bekas Walikota Surakarta, Jawa Tengah, itu mengkhianati mentor politiknya sendiri, Megawati.

Selain kursi menteri, dalam konteks ini Megawati membutuhkan Prabowo untuk melancarkan aksi balas dendam politik atau serangan balik kepada Jokowi. Megawati bisa meminjam tangan Prabowo, atau keduanya bersatu, untuk menyingkirkan Jokowi.

Sebagai Presiden, Prabowo bisa memperalat Polri, Kejaksaan Agung bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menggebuk Jokowi dan keluarganya.

Bisa dimulai dari dugaan gratifikasi fasilitas pesawat jet pribadi Kaesang Pangarep atau Bobby Nasution, menantu Jokowi yang menjadi Walikota Medan, Sumatera Utara, dan kini maju sebagai cagub Sumut di Pilkada 2024.

Politik khianat ala Brutus terhadap Julius Caesar di Romawi memang tidak asing lagi di Nusantara atau Indonesia.

Bahkan sudah berlangsung sejak zaman Singosari tahun 1222 usai Ken Arok membunuh Tunggul Ametung, penguasa Tumapel demi menguasai takhta dan permaisurinya, Ken Dedes, dengan keris Mpu Gandring, dan kemudian mendirikan kerajaan Singosari di Jawa Timur.

Politik khianat pun berlanjut hingga kini. Soeharto mengkhianati Soekarno dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 atau Super Semar.

Soeharto dikhianati BJ Habibie, Harmoko, Akbar Tandjung, Ginandjar Kartasasmita dan sebagainya yang merupakan orang-orang dekatnya, sehingga Pak Harto lengser dari kursi Presiden RI pada 21 Mei 1998.

KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur mengkhianati Megawati dengan maju sebagai capres dalam Sidang Umum MPR tahun 1999 dan terpilih, padahal partainya Megawati, PDIP merupakan pemenang Pemilu 1999.

Sebaliknya, Megawati pun mengkhianati Gus Dur dengan mau menjadi Presiden RI pada Sidang Istimewa MPR tahun 2021.

Megawati kemudian dikhianati SBY. SBY dikhianati Jokowi dengan membiarkan Kepala Kantor Staf Presiden (KSP) Moeldoko berupaya membegal Partai Demokrat meskipun tak berhasil.

Jokowi pun mengkhianati Megawati dengan mendukung Prabowo Gibran di Pilpres 2024, melawan capres-cawapres yang diusung PDIP, Ganjar Pranowo-Mahfud Md.

Akankah Prabowo mengkhianati Jokowi? Kita tunggu saja tanggal mainnya. ***

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved