Pilkada dengan calon tunggal masih jauh dari ideal.
Sebabnya dalam konteks pemilihan yang seharusnya menawarkan kompetisi gagasan dan pilihan, calon tunggal justru tidak memberikan alternatif yang memadai bagi pemilih.
Namun, menurut Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, pemilih tetap memiliki dua opsi.
Mereka bisa mencoblos foto paslon tunggal jika setuju, atau memilih kotak kosong jika menginginkan alternatif kepemimpinan.
"Kotak kosong berbeda dengan abstain atau tidak datang ke TPS," kata Titi seperti dikutip Kantor Berita Politik dan Ekonomi RMOL, Jumat (20/9).
Sebab, kotak kosong merupakan pilihan yang sah dan konstitusional sebagai saluran politik pemilih dalam Pilkada bercalon tunggal.
Jika kotak kosong memperoleh suara terbanyak mengalahkan calon tunggal, maka pemilihan akan diulang pada tahun berikutnya, yaitu pada 2025.
"Bukan hanya pemungutan suara yang diulang, namun seluruh tahapan akan dilakukan kembali sebagai konsekuensi pilkada ulang," jelas Titi.
Dia pun berharap di masa mendatang, fenomena calon tunggal dapat ditekan dan pilkada menjadi ajang kompetisi antar kader terbaik partai.
Ia juga menyoroti pentingnya evaluasi jadwal pemilu dan pilkada yang sering diadakan bersamaan.
Hal ini, menurutnya, membuat partai politik kesulitan dalam merekrut calon berkualitas dan lebih mengedepankan pragmatisme dibandingkan politik gagasan.
"Dengan berbagai perbaikan tersebut, harapannya pemilu bukan sekadar ritual rutin setiap lima tahun sekali untuk melakukan sirkulasi elite," pungkasnya.