Menteri kabinet pemerintahan baru Prabowo Subianto disebut-sebut akan berjumlah 44 orang.
Artinya, ada penambahan 10 pos kementerian jika dibandingkan dengan kabinet Presiden Joko Widodo yang berjumlah 34 orang.
Kabar soal jumlah menteri kabinet Prabowo-Gibran itu disampaikan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo yang mengaku mendengar obrolan 'warung kopi'.
"Karena nanti, dari 34, menjadi 44. Ya, mudah-mudahan, kawan-kawan kita, yang di DPR berkesempatan untuk menjadi, eksekutif sehingga, bisa merasakan dimaki-maki kolega sendiri," tutur Bamsoet di GOR kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (10/9).
Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan pun membenarkan ihwal kabar penambahan jumlah menteri tersebut. Namun, ia mengaku tidak tahu berapa jumlah pasti penambahan.
Sementara itu, Ketua Harian DPP Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyampaikan sampai saat ini belum bisa dipastikan berapa jumlah menteri di pemerintahan Prabowo.
Namun, Dasco mengklaim kabinet Prabowo-Gibran bakal lebih banyak diisi kalangan profesional atau ahli. Jatah menteri dari partai politik lebih sedikit.
Pengamat dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Lili Romli mengatakan penambahan jumlah menteri itu merupakan bagian dari upaya Prabowo-Gibran untuk merangkul partai-partai koalisi.
Kata Lili, banyaknya partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) mau tidak mau berdampak pada penambahan jumlah kursi menteri.
"Karena merangkul banyak partai, maka mau tidak mau jumlah harus banyak, semua kebagian dan jatahnya bisa lebih banyak juga dua sampai lima menteri dari masing-masing parpol, tergantung jumlah kursi di DPR," kata Lili, Kamis (12/9) malam.
Selain itu, Lili menyebut partai koalisi yang tak memiliki kursi di DPR juga mesti harus dirangkul. Minimal, kata dia, jatah kursi wakil menteri (wamen) pasti akan diberikan.
Terpisah, pengamat politik dari Universitas Andalas Asrinaldi menuturkan soal jumlah dan siapa akan duduk di kursi menteri merupakan hak prerogatif Prabowo selaku presiden terpilih.
Namun, menurut dia seharusnya hak prerogatif itu jangan sampai disalahgunakan hanya untuk sekedar kepentingan partai koalisi semata.
"Harus ada kajian apakah memang di Indonesia itu perlu kementerian yang banyak karena memang tidak juga ada standar yang umum, ada negara besar menterinya sedikit, ada negara besar seperti India menterinya banyak dan bahkan lebih teknis lagi urusannya karena memang itu ada problem di negara mereka," tutur Asrinaldi.
Asrinaldi menilai banyaknya jumlah menteri tak menjadi soal, asal mampu menjawab berbagai persoalan yang ada masyarakat.
Selain itu, lanjut dia, para menteri yang dipilih juga harus bisa menjalankan tugasnya mengacu pada visi misi presiden dan program yang dijanjikan di masa kampanye.
"Tapi kalau (hal itu) tidak (dilakukan) tentu akan ada persepsi bahwa ini hanya sekedar bagi-bagi kekuasaan untuk koalisi yang mereka bentuk bersama dulu ketika menjelang pilpres yang dimenangkan oleh pak Prabowo, jangan sampai image itu muncul," ujarnya.
Tumpang Tindih dan Anggaran Bengkak
Kendati demikian, Asrinaldi mengingatkan ada dampak buruk jika kabinet 'gemuk' ini terbentuk. Salah satunya, soal sulitnya pelaksanaan program, khususnya di daerah.
"Ini juga akan menyulitkan bagaimana pelaksanaannya karena muara dari jabatan di kementerian itu kan ada di pekerjaan-pekerjaan atau tugas-tugas yang ada di daerah," ucap dia.
Asrinaldi mencontohkan di pemerintahan saat ini pun terkadang terjadi kebingungan di daerah lantaran beberapa kementerian memiliki irisan yang sama.
"Misalnya Bappenas itu juga punya program yang harus dilaksanakan oleh daerah, Kemendagri juga seperti itu, ke mana arahnya daerah itu berkiblat dengan kebijakan akhirnya ke Kemendagri sehingga tidak efektif juga penyelenggaraan program di Bappenas," tutur Asrinaldi.
"Atau antara Kemendes dengan Kemendagri yang masing-masing mengklaim bahwa ini bagian dari pekerjaan masing-masing, dapat dibayangkan kalau seandainya banyak kementerian dan overlap tugas-tugas mereka, fungsi mereka, paling tidak dari segi koordinasi akan sulit itu menurut saya dan yang akan bingung daerah itu sendiri," imbuhnya.
Tak hanya itu, Asrinaldi menyebut banyaknya jumlah menteri ini juga akan berdampak pada membengkaknya anggaran. Pasalnya, semakin banyaknya menteri atau kementerian, maka program yang akan mereka buat pun juga bertambah banyak.
"Karena bagaimana pun tentu program-program dan jabatan ini atau posisi kementerian itu juga akan berisi program dan harus dipenuhi dengan pembiayaan agar dia berjalan dengan baik," kata dia.
Senada, Lili juga berpendapat kabinet 'gemuk' justru tak efektif dan berpotensi terjadi tumpang tindih tupoksi antar kementerian.
"Berdasarkan kajian LAN, agar efektif dan efisien, jumlah menteri tidak harus banyak. Di negara-negara maju jumlah menteri tidak banyak," ujarnya.
Lili juga menyebut banyaknya jumlah menteri ini justru hahya akan membuat anggaran negara menjadi semakin membengkak.
"Yang jelas dan pasti, jumlah menteri dan wamen yang banyak akan banyak menyedot APBN untuk gaji, tunjangan, dana operasi menteri dan fasilitas," ucap dia.
Checks and Balances hilang, Demokrasi Bahaya
Di luar itu, Lili dan Asrinaldi juga menilai jika kabinet 'gemuk' ini hanya sekedar untuk mengakomodir kepentingan koalisi, maka akan berdampak pada hilangnya fungsi checks and balances terhadap kinerja pemerintah.
Apalagi, saat ini hampir semua partai tergabung dalam KIM selaku pengusung pasangan Prabowo-Gibran.
"Kecil kemungkinan checks and balances akan berjalan. Kontrol DPR akan tumpul dan lemah," ucap Lili.
Bahkan, Lili menyebut kekuasaan eksekutif bisa saja menjadi dominan. Hal ini, lanjut dia, akan berdampak buruk bagi iklim demokrasi di Indonesia.
"Muncul dominasi dan executive heavy, yang berbahaya bagi keberlangsungan demokrasi. Kemunduran demokrasi akan semakin tajam," ujarnya.
Sementara itu, Asrinaldi menyebut jika pemerintahan Prabowo-Gibran benar merangkul semua partai ke dalam kabinet, lembaga legislatif hanya sekedar menjadi pelengkap demokrasi.
"Karena semua sudah di pemerintah, ya tidak mungkin mereka mengkritisi orang-orang yang memang memerintah berasal dari partainya yang di DPR," tutur dia.
"Nah jadi kesan check and balances ini ya akan lemah sendiri, ya artinya tidak akan berjalan dengan baik," imbuhnya.
Padahal, kata Asrinaldi, dalam sebuah negara demokrasi fungsi pengawasan terhadap kekuasaan eksekutif adalah hal yang penting.
"Jadi jangan sampai semua partai politik bergabung dengan pemerintahan sehingga mereka luput bahwa ada fungsi lain yang harus mereka laksanakan," pungkasnya.