Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Wajib Tahu! Ini Perbedaan Politik Dinasti Megawati dan Jokowi

 

Kepala Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, mengatakan politik dinasti sekarang lebih banyak dari era orde baru.

Praktik politik dinasti di Indonesia kata Egi, makin marak terjadi pasca reformasi tahun 1998.

Reformasi yang diharapkan bisa memperbaiki iklim demokrasi Indonesia, rupanya justru membuat politik dinasti kian subur, terutama setelah penyelenggaraan pemilu dilakukan secara langsung.

"Entah kenapa pasca reformasi, terutama pasca adanya pilkada dengan vote langsung tahun 2005 ya, praktik politik dinasti itu subur," kata Egi ditemui di Jakarta, Selasa (13/8/2024).

"Begitu beda dengan zaman orde baru ya, kalaupun ada tidak sesubur saat ini," Egi menambahkan.

Selain jumlahnya yang kian banyak, perbedaan praktik politik dinasti era orde baru dan reformasi juga terlihat dari prosesnya.

Egi menyebutkan bahwa Ketua PDIP Megawati Soekarno Putri termasuk salah satu contoh produk politik dinasti dari mantan Presiden Soekarno.

"Tapi Megawati itu jadi dalam posisi sekarang prosesnya panjang. Tidak dalam 1-2 tahun atau waktu yang singkat, dia sudah menjadi pejabat," jelas Egi.

Sementara itu, praktik politik dinasti pada masa sekarang cenderung terjadi secara instan. Hal tersebut yang disebut mencederai proses kompetisi dalam demokrasi.

"Jadi sayangnya ada cara-cara instan yang digunakan oleh berbagai pihak yang ingin mengambil keuntungan dalam hal ini adalah politik dinasti," ujar Egi.

Untuk Presiden Joko Widodo (Jokowi) kata Egi, turut jadi penyebab praktik politik dinasti terus menjamur saat ini.

Hal tersebut tak lepas dari sikap Jokowi yang membiarkan putra sulungnya, Gibran Rakabuming, maju sebagai calon Wakil Presiden meski usianya pada saat itu belum memenuhi syarat.

Selain itu, anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep juga terbilang punya karir politik sangat instan.

Pasalnya, suami Erina Gudono itu bisa langsung menjadi ketua umum partai meski baru dua hari bergabung dan tidak memiliki pengalaman berpolitik sebelumnya.

Kemudian ada juga menantu Presiden Jokowi, Bobby Nasution yang kekinian didukung banyak parpol untuk maju di Pilgub Sumut 2024 sepeti dikutip dari suara

26 Tahun Reformasi Indonesia, Pengamat Nilai Lebih Parah dari Orde Baru

Pengamat politik Ujang Komarudin mengatakan bahwa reformasi yang sudah berjalan di Indonesia sejak 21 Mei 1998, masih jauh dari harapan, bahkan lebih parah dari Orde Baru.

Dia menyatakan bahwa masih banyak yang perlu diperbaiki untuk menuju Indonesia berkeadilan dalam enam aspek.

"Saya mengatakan lebih parah dari pada pemerintah dulu, walaupun memang kita kini sudah ada kebebasan pers, demokrasi sekarang ini berbicara bebas, tetapi itu kan hal-hal yang di jamin undang undang harus di jaga oleh negara ini," katanya saat dihubungi Bisnis, Selasa (21/5/2024).

Lebih lanjut, konteks reformasi yang dibahas akan dilihat dari enam agenda, di antaranya penegakan supremasi hukum; pemberantasan KKN; pengadilan mantan presiden Soeharto dan kroninya; amandemen konstitusi; pencabutan dwifungsi ABRI (TNI/Polri), dan; pemberian otonomi daerah seluas-luasnya.

Menurutnya jika berbicara soal reformasi, tentunya perlu untuk bersyukur karena berada di era reformasi, meski menurutnya saat ini reformasi tidak berjalan.

Adapun secara rinci, enam agenda reformasi tersebut adalah: 

1. Penegakan Supremasi Hukum

Dia menjelaskan bahwa saat ini penegakan hukum bisa dimainkan, bisa di acak-acak, lawan politik jadi korban, jaringan penguasa yang berkasus diamankan penegakan hukumnya.

"Kita kembali pada indikasi-indikasi pemerintahan yang lama walaupun tidak selalu mirip. Walaupun keliatan terbuka tapi kalau kita bicara konteks penegakan hukum, tentu lebih parah daripada Orde Baru," ujarnya.

Sementara itu, dia mengatakan bahwa jika bicara soal demokrasi maka selaras dengan penegakan hukum atau supremasi hukum, kalau demokrasinya ingin sehat, kuat dan bermartabat, penegakan hukumnya harus adil.

"Nah di kita kan demokrasinya turun indeksnya walaupun kita keliatan baik-baik tapi [ternyata] tidak baik-baik, karena memang dalam penegakan hukumnya compang-camping, tebang pilih itu sehingga ya tadi antara penegakan hukum dengan demokrasi seiring, sejalan tapi karena penegakan hukumya compang-camping, maka demokrasi pun tadi hanya sekedar prosedural belum substansial hanya sekedar keliatan bagus tapi di dalamnya banyak kebobrokan yang harus diperbaiki," ucapnya.

Jadi, menurutnya jika bicara soal penegakan hukum atau supremasi hukum, hingga hari ini masih jauh dari harapan, karena saat ini penegak hukum pun masih bisa dimainkan untuk kepentingan politik. 

2. Pemberantasan Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN)

Dia mengatakan bahwa untuk pemberantasan KKN saat ini tidak berjalan, justru menurutnya yang terjadi sekarang adalah oligarki semakin banyak, dinasti politik semakin tumbuh dan berkembang makin besar.

"Korupsinya juga makin merajalela, kalau dulu di jaman Orde Baru korupsi itu tersentral di keluarga presiden, kalau saat ini kan korupsi menjalar kemana-mana di setiap lembaga negara, di setiap kelompok, dan di setiap individu. Jadi kalau dulu itu korupsi itu di belakang meja gitu, sekarang ini korupsinya dengan meja-mejanya, lebih parah, makanya Mahfud MD mengatakan ketika jadi MenkoPolhukam, di tengok ke kanan-kiri, atas-bawah ya korupsi seperti itu. Jadi lebih parah," ujarnya.

Menurutnya, kebiasaan korupsi saat ini lebih parah, sehingga bangsa ini tidak berubah, KKN semakin banyak, baik di tingkat pusat maupun di daerah. 

3. Pengadilan Mantan Presiden Soeharto dan Kroninya

"Ya terhenti, pengadilan Soeharto kan gak jalan juga dan jangan lupa pemerintahan di masa SBY di masa Jokowi itu kan orang-orangnya Orde baru juga, yang menginginkan reformasi itu kan mahasiswa, tapi yang berkuasa itu kan tetap orang-orang Orde Baru juga jadi ya tidak pernah berubah sikap mental bangsa ini bahkan makin parah," ucapnya.

Menurutnya, soal pengadilan Presiden Soeharto dan keluarganya sampai saat ini tidak jelas, jadi dalam konteks itu hanya terus berkutat dalam persoalan yang tidak jelas sehingga dianggap main-main dan kacau. 

4. Amandemen Konstitusi

Dia mengatakan bahwa soal amandemen adalah kalau sudah di amandemen maka hanya perlu dijalankan dengan baik saja, karena itu sebenarnya adalah amanah. 

5. Pencabutan Dwifungsi ABRI (TNI/Polri)

Menurutnya, dwifungsi ABRI juga sudah di cabut dan tinggal dijalankan saja, tapi sekarang malah multifungsi polisi, TNI-nya kembali menjaga pertahanan negara, sekarang yang ikut politik justru polisi.

"Bahkan bukan dwifungsi ABRI, sekarang polisi yang berkuasa bahkan multifungsi, kan menjadi persoalan juga," ujarnya.

Dia mengatakan bahwa yang satunya dikembalikan kepada fungsinya, dan polisi justru diberikan kewenangan untuk banyak mengurusi politik. 

6. Pemberian Otonomi Daerah Seluas-luasnya

Menurutnya, untuk saat ini pemberian otonomi daerah seluas-luasnya kacau balau. Dia mengatakan banyak daerah dikuasai oleh oligarki dan politik dinasti yang KKN-nya luar biasa besar.

"Makannya yang ditangkap KPK itu kan anak, istrinya, suaminya yang menjadi bupati bersama-sama," ujarnya.

Kemudian menurutnya, masih banyak hal yang perlu dikoreksi, masih banyak kurang yang harus diperbaiki, mentalitas, pikiran, dan tindakan belum bisa berubah dari Orde yang lalu, maka kondisi bangsanya tidak pernah berubah.

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved