Oleh: Agusto Sulistio.
Di tengah masa transisi kekuasaan dari Presiden Jokowi ke Prabowo, Indonesia menghadapi tantangan yang tidak bisa dianggap sepele, yaitu keberadaan mafia yang mengakar di berbagai sektor, terutama infrastruktur dan pertambangan. Meskipun telah banyak proyek infrastruktur dibangun selama pemerintahan Jokowi, hasilnya justru lebih banyak menguntungkan para oligarki daripada rakyat. Hal ini disebabkan oleh praktik-praktik mafia yang secara struktural dan masif menggerogoti sendi-sendi negara, membuat banyak kebijakan tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada segelintir elite yang mengendalikan sumber daya dan kekuasaan.
Mafia di Balik Proyek Infrastruktur dan Pertambangan
Prof. Soemitro Djojohadikusumo, seorang begawan ekonomi nasional, dalam bukunya "Ekonomi Pancasila: Antara Idealisme dan Realitas", menegaskan bahwa keberadaan mafia yang beroperasi di sektor ekonomi, terutama dalam proyek-proyek besar seperti infrastruktur dan pertambangan, merupakan ancaman serius bagi ekonomi kerakyatan. Buku yang diterbitkan pada tahun 1984 ini menyoroti bagaimana mafia dapat menciptakan ketidakadilan sosial dan merusak struktur ekonomi nasional dengan menciptakan ketergantungan pada segelintir oligarki. Prof. Soemitro mengingatkan bahwa mafia ekonomi ini akan menghambat perkembangan ekonomi yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat banyak.
Pandangan serupa juga disampaikan oleh Prof. Sarbini dalam bukunya "Ekonomi Rakyat dalam Pembangunan Nasional", yang diterbitkan pada tahun 1985. Prof. Sarbini menekankan bahwa praktek mafia telah merusak fondasi ekonomi kerakyatan yang seharusnya menjadi tulang punggung perekonomian nasional. Menurutnya, mafia tidak hanya memperburuk kesenjangan sosial tetapi juga mengganggu pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Buku ini memberikan analisis mendalam tentang bagaimana mafia ekonomi beroperasi dan dampaknya terhadap kebijakan ekonomi nasional.
Keduanya menekankan pentingnya kehati-hatian dalam menangani masalah ini, terutama di tengah masa transisi kekuasaan. Jika tidak ditangani dengan tepat, ada risiko besar bahwa para oligarki ini akan membawa lari modal mereka ke luar negeri, yang akan semakin memperburuk kondisi ekonomi nasional dan mengganggu stabilitas negara.
Kasus Pertambangan dan Infrastruktur
Salah satu contoh konkret dari bagaimana mafia merugikan negara adalah kasus pertambangan di Kalimantan Timur. Beberapa perusahaan tambang diketahui melakukan praktik-praktik kotor dengan merusak lingkungan tanpa mematuhi aturan yang berlaku. Mereka melibatkan aparat dan pejabat daerah untuk mengamankan operasional mereka. Alih-alih memberikan manfaat bagi masyarakat setempat, keuntungan besar dari tambang tersebut justru mengalir ke kantong segelintir pengusaha dan pejabat yang terlibat.
Demikian juga dengan proyek infrastruktur, seperti pembangunan jalan tol dan pelabuhan, yang seharusnya menjadi katalisator pertumbuhan ekonomi, malah menjadi lahan subur bagi para mafia untuk memperkaya diri. Proyek-proyek ini sering kali dibebani dengan biaya yang jauh lebih tinggi daripada yang seharusnya karena adanya praktik korupsi dan mark-up anggaran yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari kontraktor hingga pejabat pemerintah.
Prabowo, KIM dan Tantangan Mengeliminir Oligarki
Dalam konteks ini, Prabowo menghadapi ujian berat. Sejauh mana dia mampu mengeliminir pengaruh Jokowi dalam kebijakan dan komposisi personal dalam kabinet akan sangat menentukan masa depan pemerintahan barunya. Prabowo harus cermat dalam menata personal di dalam Koalisi Indonesia Maju, yang terdiri dari partai-partai besar seperti Gerindra, Golkar, PAN, dan PPP. Partai-partai ini memiliki kepentingan dan pengaruh besar yang, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menjadi penghalang dalam upaya pemberantasan mafia.
Prabowo juga harus tegas dalam menempatkan pejabat yudikatif dan eksekutif yang bukan hanya loyal kepada dirinya, tetapi juga memiliki keberpihakan yang jelas terhadap nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan pro-rakyat. Tanpa keberanian dan ketegasan dalam hal ini, upaya pemberantasan mafia hanya akan menjadi slogan kosong.
Pandangan Filsuf Dunia dan Contoh Negara Sukses
Filsuf Italia, Niccolò Machiavelli, dalam karyanya "The Prince", menekankan pentingnya kekuatan dan kebijaksanaan dalam mengelola negara, terutama dalam menghadapi musuh internal seperti mafia. Menurut Machiavelli, seorang pemimpin harus tegas dan tanpa kompromi dalam memberantas ancaman yang dapat merusak stabilitas negara, bahkan jika itu berarti harus bertindak keras terhadap musuh-musuhnya.
Contoh negara yang sukses dalam memberantas mafia adalah Italia pada era 1990-an. Pemerintah Italia, dengan bantuan jaksa penuntut umum seperti Giovanni Falcone dan Paolo Borsellino, melakukan operasi besar-besaran yang dikenal sebagai "Operazione Mani Pulite" (Operasi Tangan Bersih) untuk memberantas mafia Sisilia. Mereka berhasil mengungkap jaringan mafia yang menguasai berbagai sektor, termasuk ekonomi dan politik, dengan menggunakan pendekatan hukum yang tegas dan tanpa pandang bulu.
Kehati-hatian dan Stabilitas Ekonomi
Namun, Prabowo harus berhati-hati dalam melangkah. Mafia dan oligarki masih memiliki modal besar yang bisa digunakan untuk melarikan uang ke luar negeri jika mereka merasa terancam. Ini bisa menimbulkan gejolak ekonomi yang serius. Oleh karena itu, Prabowo perlu merumuskan kebijakan yang tidak hanya menekan mafia dan oligarki, tetapi juga memastikan bahwa ekonomi tetap stabil dan keamanan terjamin.
Kesimpulannya, masa transisi kekuasaan ini adalah momen kritis bagi Indonesia. Prabowo harus mampu mengatasi tantangan dari para mafia dan oligarki dengan bijaksana, tegas, dan penuh kehati-hatian. Keberhasilan dalam hal ini akan menentukan apakah Indonesia mampu keluar dari bayang-bayang negara mafia dan menuju pemerintahan yang lebih adil dan berpihak pada rakyat.
Kalibata, Jakarta Selatan, Selasa 27 Agustus 2024, 04.27 Wib.
(*)