Pihak berwenang Prancis menjatuhi dakwaan awal kepada CEO Telegram Pavel Durov atas dugaan aktivitas kriminal di aplikasi tersebut. Pavel Durov juga dilarang meninggalkan Prancis dan membayar uang jaminan sebesar 5 juta euro atau sekitar Rp85 miliar.
Dakwaan awal dijatuhkan oleh hakim investigasi pada Rabu (28/8) malam waktu setempat setelah Durov menjalani pemeriksaan selama empat hari sejak ditangkap Sabtu (24/8) di bandara Le Bourget di luar Paris. Dari hasil investigasi tersebut, Durov dibebaskan dengan jaminan sebesar 5 juta euro (Rp85 miliar).
"Hakim investigasi mengajukan dakwaan awal pada Rabu malam dan memerintahkannya untuk membayar uang jaminan sebesar 5 juta euro (Rp85 miliar) dan melapor ke kantor polisi dua kali seminggu," menurut pernyataan dari kantor kejaksaan Paris, sebagaimana dilaporkan AP, Kamis (29/8/2024).
Dugaan terhadap Durov, yang juga warga negara Prancis, mencakup bahwa platformnya digunakan untuk materi pelecehan seksual anak dan perdagangan narkoba. Kejaksaan juga menuding Telegram menolak untuk membagikan informasi atau dokumen kepada penyidik ketika diharuskan oleh hukum.
Durov didakwa atas keterlibatannya dalam mengelola Telegram untuk memungkinkan transaksi terlarang oleh kelompok terorganisir, sebuah kejahatan yang bisa mengakibatkan hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda 500.000 euro (Rp8 miliar). Jaksa mengatakan Durov satu-satunya orang yang terlibat dalam kasus kejahatan tersebut.
Berdasarkan hukum Prancis, dakwaan awal berarti hakim memiliki alasan kuat untuk meyakini bahwa suatu kejahatan telah dilakukan tetapi memberikan lebih banyak waktu untuk penyelidikan lebih lanjut.
Meski sudah melakukan pemeriksaan terhadap Durov, penyidik tidak menutup kemungkinan untuk memanggil pihak lain yang diduga terlibat kejahatan itu. Namun, pihaknya menolak untuk berkomentar lebih lanjut.
"Surat perintah penangkapan lainnya hanya akan terungkap jika target surat perintah tersebut ditahan dan diberi tahu tentang hak-hak mereka," kata jaksa.
Diketahui kasus yang menjerat Pavel Durov ini sudah dibuka oleh pihak berwenang Prancis sejak awal Februari lalu. Hal ini lantaran pihak Telegram tidak memberi tanggapan atas laporan awal, terutama permintaan pengadilan untuk data guna mengejar tersangka, terutama mereka yang dituduh melakukan kejahatan terhadap anak-anak.