Penulis : Adian Radiatus
Yusuf Hamka bilang "politik terlalu kasar" mengiringi keputusannya untuk keluar dari Golkar termasuk pencalonannya di kontestasi Pilkada. Sebuah pernyataan yang singkat, ironis dan dalam maknanya bahkan terlalu dalam bila dikaitkan dengan marwah Demokrasi Pancasila yang sangat kita junjung tinggi dan banggakan dalam menyuarakannya.
Tetapi apa yang terjadi di Partai Golkar adalah "luka" konstitusi politik Indonesia yang parah karena menganga lebar lukanya itu dan terjadi karena ada yang sengaja me"nyayat"nya tanpa peduli besarnya dampak bagi kehidupan politik partai yang mandiri dan berintegritas.
Didalam pernyataannya dengan tegas babah Alun, demikian Jusuf Hamka suka dipanggil, menyatakan masalah bukan datang dari internal tapi eksternal. Tidak mengherankan sebenarnya melihat perjalanan intrik-intrik politik yang dijalankan oleh "clan" Jokowi sejak dua-tiga tahun lalu dimana sekali lagi "Jokowi tiga periode" adalah pemicu rentetan cawe-cawe politik yang terus bergulir.
Namun preseden yang terjadi di Golkar ini sudah melampaui batas cawe cawe karena disamping soal perebutan kekuasaan politik partai telah terjadi pula "pembunuhan" karakter bukan saja kepada pribadi-pribadi tetapi karakter Partai Golkar itu sendiri seutuhnya. Tragedi yang harus Golkar sendiri atasi, imbangi dan selesaikan dengan melawannya secara kematangan politik yang dimilikinya sejak berdiri hingga sebelum Airlangga mengundurkan diri selaku Ketum.
Siapa pelakunya tentu semua pihak mahfum yaitu yang sangat berkuasa di negeri ini namun ahli dalam membantah perbuatannya sendiri, menampilkan keluguan namun keberingasan dibaliknya. Wajah yang membuat budaya politik Indonesia menjadi jorok, kotor dan kehilangan kehormatannya dimata rakyat.
Seberapa besar Jokowi membantah sebuah kejadian politik buruk, maka sebesar itu pula rakyat balik membantahnya bahkan terkadang lebih besar lagi dan dalam konteks seperti ini presiden Jokowi jadi tampak sendiri, tak berdaya serta bergelimang dosa percaweannya yang melebar kemana-mana hingga ranah Pilkada.
Publik menunggu reaksi dan pernyataan jelas tegas dari Jokowi secara terbuka meskipun sulit dipercaya, tetapi ini jauh lebih berarti ketimbang namanya menjadi cibiran, cacat cela pelaku politik "devide at impera" ala kolonialisme. Rakyat menginginkan presiden yang terhormat, berintegritas dan membanggakan untuk diceritakan apalagi masa tugasnya hampir selesai. Jangan menjadi "misteri guest" sebagai pelaku politik kasar di negeri yang damai dan indah ini...
Jakarta, 13 Agustus 2024