Oleh: M Rizal Fadillah
Setelah Tempo mengurai Nawadosa Jokowi dan sebelumnya telah banyak pula kritik, mosi, petisi dan aksi, tiba-tiba Jokowi, yang juga mengatasnamakan Ma'ruf Amin, meminta maaf atas segala kesalahan yang dilakukan selama memerintah. Dengan sedikit merintih menyadari dirinya sebagai manusia tak luput dari salah.
Sebagai manusia tentu bagus saja Jokowi meminta maaf, akan tetapi sebagai Presiden yang menjalankan amanat rakyat, ia harus bertanggung jawab. Sampai saat ini tidak ada tanga-tanda ia tampil sebagai makhluk yang bertanggungjawab. Masih senang lari-lari sambil terus menambah dosa. Minta maaf rasanya hanya intermeso atau kamuflase. Nafsu Jokowi tetap merajalela.
Soal IKN kemarin piknik dengan influencer untuk berpesta makan, konvoy motor dan pamer ruang kerja Istana. Tidak bisa tidur menjadi berita. Pekan depan ia akan membawa 500 relawan ke IKN pidato-pidatoan sambil hura-hura. Itu baru IKN belum PIK 2 yang berbau China, pengendalian TNI dan Polri melalui rekayasa aturan, serta nepotisme yang tak tahu malu. Lalu apa arti minta maaf ? Tidak ada. Lips service, kata mahasiswa.
Sederhananya andai Jokowi dan keluarga serta kroni melakukan korupsi yang dianggap sebagai "kesalahan manusia", apakah selesai dengan sekedar minta maaf ? Tentu tidak, harus tetap diproses pelanggaran hukumnya. Demikian juga untuk berbagai kejahatan politik lain seperti penghianatan, pemenjaraan dan pembunuhan politik, menjual tanah dan air milik negara, merampok kedaulatan rakyat atau berkolaborasi dengan penjajah, semua itu harus mendapat sanksi.
Dalam hukum memang memungkinkan suatu perbuatan melanggar hukum dapat bebas dengan sebab adanya "alasan pemaaf". Berkaitan dengan ini Pasal 44 ayat (1) KUHP menegaskan perbuatan pidana dapat dimaafkan jika pelaku ada mengalami penyakit gila atau idiot (psikiatris) atau guncangan jiwa luar biasa (psikologis) atau ada daya paksa/darurat (overmacht).
Rasanya tidak ada kondisi darurat yang menyebabkan Jokowi harus melakukan tindak pidana, semua berjalan normal saja, entah untuk sebab lain seperti gila, idiot atau guncangan jiwa. Itu tugas psikiater dan psikolog untuk memeriksanya. Bukan pengamat atau akademisi, apalagi aktivis. Ulama tentu siap saja untuk terapi spiritual.
Oleh karena itu permintaan maaf Jokowo didepan "zikir dan do'a kebangsaan" di Istana Merdeka kemarin patut diabaikan. Nanti ditunda saja saat lebaran untuk saling memaafkan "manusiawi" dengan salam-salaman. Bukti menyadari kesalahan dan menyesal atas perbuatan dengan mundur dari jabatan ternyata tidak dilakukan. Jadi semuanya bullshit, omdo, wadul atau sandiwara air mata buaya.
Tahapannya jelas yaitu mundur, tangkap dan adili Jokowi. Setelah mendapatkan hukuman itulah waktu tepat untuk minta maaf dan semoga rakyat memaafkan dengan mendo'akan agar pak Jokowi tabah, sabar dan diampuni. Sambil merenung betapa naasnya berada di dalam penjara. Bertobatlah saat itu dengan setobat-tobatnya. Jangan semedi atau bawa-bawa mantera dukun selama di penjara. Nanti rusak iman pak Jokowi.
Sampai 20 Oktober 2024 masih ada waktu untuk sukarela mundur, toh semua usaha politik Jokowi sudah mangkrak dan gagal. Gibran sang putera yang jadi Wapres pun menggendong sejuta masalah. Ada persoalan moral, etika, agama, hukum dan politik. Gibran bukan solusi tetapi caci maki.
Lewat dari 20 Oktober 2024 persoalan akan menjadi lain lagi.
Jokowi bukan pahlawan tetapi penjahat yang memulai karier sebagai pengusaha Meubel, Walikota, Gubernur dan Presiden. Dinasti yang dibangun menjadi nafas terakhir dari sakaratul mautnya. IKN adalah kuburan politiknya.
Mereka yang bernafas tetapi telah hilang rasa malu (al haya'), tidak amanah (al amanah) dan tidak peka atau tidak memiliki rasa sayang (ar rahmah) maka ia telah mati iman dan bagaikan berada di alam kubur.
Hadits Riwayat Ibnu Majjah itu dapat menjadi rujukan.
*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan
Bandung, 3 Agustus 2024