Fenomena penyanderaan politik oleh penguasa marak terjadi usai Pileg dan Pilpres 2024.
Analis politik Universitas Negeri Jakarta Ubedillah Badrun berpendapat bahwa data empirik yang diteliti lima tahun terakhir, menunjukkan adanya analisis aktor kuat di belakang peristiwa politik tersebut.
Secara tegas, Ubedillah Badrun mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) merupakan biang kerok dari buruknya demokrasi di Indonesia.
“Salah satu aktor utama yang kami duga sangat kuat adalah Joko Widodo. Itu menjadi faktor yang kemudian membuat demokrasi makin memburuk,” tegas Ubedillah Badrun dalam jumpa media 98 Melawan, bertemakan 'Jokowi Kudeta Demokrasi: Kasus Golkar' di kawasan Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (13/8).
Ubedillah menyebut Jokowi seolah membiarkan praktik kotor dalam berdemokrasi dan juga cuci tangan pada sejumlah peristiwa politik yang dialami partai politik.
“Membiarkan praktik busuknya demokrasi dan menjadi pelaku utama dalam proses busuknya demokrasi itu. Karena dia berada pada posisi sentral, berada pada posisi struktural kekuasaan,” jelasnya.
Sebagai presiden, lanjut Ubedillah, Jokowi seharusnya mengerem tindakan sandera politik tersebut.
“Yang memungkinkan dia bisa membalikan arah menjadi demokratis. Tapi itu tidak dilakukannya. Bahkan kemudian membiarkan itu, bahkan terkesan menikmati busuknya demokrasi ini,” tutupnya seperti dikutip dari rmol
Agusto Sulistio: Selamatkan Demokrasi
Dalam menghadapi situasi ini, pandangan para senior dan sesepuh Golkar menjadi sangat krusial. Keadaan yang menimpa Airlangga tidak bisa hanya dilihat sebagai persoalan pribadi, tetapi juga sebagai ujian terhadap independensi dan kebebasan Partai Golkar dalam menentukan masa depannya. Para senior Golkar harus mengambil langkah konkrit untuk memastikan bahwa partai ini tidak menjadi korban dari intervensi pihak luar yang tidak sesuai dengan aturan dan etika politik yang baik. Mereka perlu menyelamatkan demokrasi dari tangan-tangan yang mencoba membajak proses politik demi kepentingan sempit. Golkar, sebagai salah satu partai tertua dan berpengaruh di Indonesia, harus bisa menunjukkan bahwa mereka tetap teguh pada prinsip-prinsip demokrasi yang sesungguhnya, di mana keputusan diambil dengan kebebasan penuh tanpa campur tangan yang tak beradab.
Sebagaimana yang diajarkan dalam kisah pewayangan Bharata Yudha, mengalah bukan berarti kalah. Pada akhirnya, kemenangan sejati akan diraih oleh mereka yang tetap teguh pada prinsip kebenaran dan keadilan. Mengalah dalam menghadapi tekanan politik yang tidak etis justru bisa menjadi cara untuk membangkitkan semangat rakyat dalam membela kebenaran. Kisah Pandawa yang akhirnya menang melawan Kurawa dalam Bharata Yudha menjadi pengingat bahwa kebenaran akan selalu menang, meskipun harus melalui berbagai rintangan dan cobaan. Bagi Airlangga, mungkin ini adalah saatnya untuk menunjukkan bahwa mengalah dalam politik bukanlah tanda kelemahan, melainkan langkah bijak untuk memastikan bahwa keadilan dan kebenaran akan tetap berdiri tegak di atas panggung politik Indonesia.***