Oleh Agusto Sulistio.
Di suatu pagi yang kelabu di Negeri Pandaya, matahari seolah enggan menampakkan sinarnya. Langit ditutupi awan kelabu, seolah mencerminkan suasana hati yang mencekam di seluruh negeri. Di Istana Merdeka, Presiden Mulyokusumo terbangun lebih awal dari biasanya. Pikirannya diselimuti oleh bayang-bayang janji yang pernah ia ucapkan dengan lantang di hadapan rakyat yang mengharapkan perubahan besar.
Sejak pertama kali dilantik, Mulyokusumo selalu memulai harinya dengan semangat. Ia percaya bahwa pemimpin harus bangun lebih pagi dari rakyatnya, mempersiapkan diri menghadapi hari yang penuh tantangan. Namun, pagi itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, sesuatu yang tidak bisa ia abaikan.
Di meja makan, Mulyokusumo menikmati sarapan yang disiapkan oleh juru masaknya. Nasi goreng kampung menjadi pilihannya. Namun, meski rasanya tetap enak, Mulyokusumo merasa ada yang hambar di dalamnya. Ia melirik koran yang tergeletak di meja. Judul-judul berita memuat laporan tentang proyek-proyek besar yang dicanangkan pemerintahannya, terutama proyek pembangunan Istana di Ibukota Khahyangan. Di permukaan, semuanya terlihat baik-baik saja. Namun, jauh di lubuk hatinya, Mulyokusumo tahu bahwa ada yang salah.
"Pak Presiden, rapat kabinet dimulai sebentar lagi. Semua menteri sudah menunggu di ruang rapat," ujar ajudannya dengan sopan. Mulyokusumo hanya mengangguk dan bangkit dari kursinya. Langkahnya mantap, tapi hati dan pikirannya dipenuhi dengan keraguan.
Di ruang rapat kabinet, suasana terasa tegang. Para menteri duduk berjajar, menunggu instruksi dari pemimpin mereka. Mulyokusumo memasuki ruangan dengan wajah yang serius, tatapannya mengamati satu per satu bawahannya. Beberapa di antara mereka tampak tak tenang, terutama mereka yang terlibat dalam proyek pembangunan Istana di Khahyangan yang menjadi andalan pemerintah.
Setelah melalui beberapa agenda rutin, Mulyokusumo memutuskan untuk membahas inti dari pertemuan itu. "Saya ingin mendengar perkembangan terbaru dari proyek pembangunan Istana di Khahyangan," ujarnya dengan suara yang tenang namun tegas. Menteri Pekerjaan Umum, Wicaksono, segera angkat bicara, namun suaranya terdengar bergetar.
"Pak Presiden, proyek Istana ini menghadapi tantangan besar. Ada penolakan dari masyarakat yang semakin meluas. Mereka menolak pembangunan di Khahyangan, dan ini membuat investor dari Negeri Astinamulyo meragukan kelanjutan proyek ini. Beberapa dari mereka sudah membatalkan investasi mereka, khawatir proyek ini akan mengalami banyak kendala dan merugikan mereka," ujar Wicaksono dengan nada khawatir.
Kata-kata itu menghantam Mulyokusumo seperti petir di siang bolong. Ia tahu betul bahwa proyek Khahyangan bukan hanya simbol kekuasaan dan kebanggaan, tapi juga janji besar kepada para investor dari Negeri Astinamulyo. Jika mereka mundur, itu bisa berarti bencana bagi pemerintahannya, terlebih menjelang ambisinya untuk berkuasa di periode ketiga.
"Jadi, apa rencana kita untuk menghadapi penolakan ini? Kita tidak bisa membiarkan segelintir orang menghambat kemajuan negara ini!" kata Mulyokusumo dengan nada tajam. Matanya menatap tajam ke arah para menteri yang duduk di depannya.
Menteri Keuangan, Farida, yang selama ini dikenal karena ketenangannya, maju untuk berbicara. "Pak Presiden, kita harus melakukan upaya untuk meyakinkan kembali investor dari Astinamulyo. Kita perlu melakukan counter issue, menyebarkan narasi bahwa penolakan ini hanyalah ulah segelintir orang yang tidak suka dengan kemajuan. Kita harus menunjukkan bahwa pemerintah kuat dan tetap pada komitmennya untuk membangun Khahyangan," ujarnya dengan penuh keyakinan.
Mulyokusumo mengangguk setuju. Ia tahu bahwa keberhasilannya sangat bergantung pada dukungan dari para pemilik modal besar, terutama dari Negeri Khan Lingguan Pit, yang telah banyak membantu suksesnya sejak sebelum ia menjadi presiden hingga kini. Kehilangan kepercayaan mereka adalah hal yang tidak boleh terjadi. Ia harus memastikan proyek Khahyangan tetap berjalan, apapun risikonya.
"Saya tidak peduli bagaimana caranya, yang penting proyek ini harus sukses. Rakyat perlu diyakinkan bahwa ini adalah demi kebaikan mereka, dan para investor harus melihat kita sebagai negara yang solid dan dapat diandalkan," tegas Mulyokusumo. "Jangan biarkan protes-protes kecil ini menghentikan kita."
Malam harinya, Mulyokusumo mencoba menenangkan pikirannya di ruang keluarga. Ia duduk di sofa bersama istrinya, Sinta, yang selalu setia di sisinya. Anak-anak mereka, Reza dan Laila, sedang bermain di halaman belakang, tawa mereka mengisi kesunyian malam yang mencekam itu. Sinta menatap suaminya dengan penuh kasih, namun ia bisa merasakan beban berat yang dipikul oleh Mulyokusumo.
"Kamu tampak sangat lelah akhir-akhir ini, Mulyo. Apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Sinta dengan lembut.
Mulyokusumo tersenyum tipis dan menggenggam tangan istrinya. "Hanya sedikit tekanan dari pekerjaan, tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
Namun, Sinta tahu bahwa ada sesuatu yang lebih besar yang mengganggu suaminya. Mulyokusumo yang ia kenal adalah seorang yang kuat, tegar, dan penuh keyakinan. Tapi malam itu, ia tampak rapuh, seolah ada badai besar yang menghantam dirinya dari dalam.
Di luar istana, situasi semakin memanas. Media mulai mengendus adanya ketegangan di balik proyek pembangunan Istana di Khahyangan. Berbagai laporan dan spekulasi mulai bermunculan, menyulut keresahan di kalangan rakyat. Pandaya yang dulu penuh harapan kini mulai dirundung kekecewaan.
Di sebuah kantor berita, dua jurnalis muda, Dika dan Maya, sedang mengumpulkan informasi dari berbagai sumber. Mereka tahu bahwa ada cerita besar yang bisa mereka ungkapkan, sebuah cerita yang bisa mengguncang negeri. "Kita harus menelusuri lebih dalam, Dika. Ada yang tidak beres di sini, dan kita perlu membawanya ke permukaan," kata Maya dengan semangat yang menyala-nyala.
Sementara itu, di sebuah desa terpencil di pinggiran negeri, seorang petani tua, Pak Marno, duduk termenung di teras rumahnya. Ia menatap hamparan sawah yang dulunya subur, namun kini hanya menyisakan tanah kering dan retak. Proyek pembangunan Khahyangan yang menjanjikan kesejahteraan justru menghancurkan mata pencahariannya. Bersama beberapa warga desa lainnya, Pak Marno merencanakan untuk mengajukan protes. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa suaranya mungkin tidak akan didengar.
Hari-hari berlalu, dan Mulyokusumo semakin merasa terasing dari rakyatnya. Janji-janji yang dulu ia ucapkan dengan penuh keyakinan kini menjadi beban yang menghantuinya setiap malam. Di setiap penampilannya di hadapan publik, ia merasakan tatapan tajam yang menuntut jawaban. Kebijakan-kebijakan yang ia ambil kini dipertanyakan, bahkan oleh mereka yang dulu mendukungnya dengan penuh harapan.
Ketakutan mulai merayap di benaknya. Ketakutan bahwa ia telah gagal, bahwa semua yang telah ia bangun akan runtuh. Bayangan kegagalan itu terus menghantuinya, membuatnya meragukan setiap langkah yang ia ambil. Di tengah semua itu, Mulyokusumo hanya bisa berharap bahwa ia masih memiliki waktu untuk membalikkan keadaan, untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari mimpinya bagi Negeri Pandaya.
Tetapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa waktu terus berdetak, dan setiap detiknya adalah pengingat bahwa janji yang pernah ia ucapkan semakin sulit untuk ditepati. Di atas pundaknya, beban tanggung jawab kepada seluruh rakyat Pandaya semakin berat, seiring dengan semakin dekatnya akhir dari masa jabatannya. Dan di dalam sunyi malam yang semakin pekat, Mulyokusumo hanya bisa bertanya-tanya, apakah ia akan dikenang sebagai pemimpin yang membawa harapan, atau sebagai pemimpin yang mengecewakan.
Di Negeri Pandaya, bayang-bayang janji itu terus menghantui, mengintai di setiap sudut, siap menghancurkan apa yang pernah diyakini sebagai masa depan yang cerah.
Jakarta, Minggu, 25 Agustus 2024, 11.09 Wib.