Penulis: Ali Syarief Fusilatnews
Dalam sejarah Indonesia, peran gerakan rakyat dan mahasiswa dalam menjaga dan membangun demokrasi tidak dapat dipandang sebelah mata.
Perjuangan mereka telah menumbangkan dua presiden, Bung Karno dan Pak Harto, yang dianggap gagal memenuhi aspirasi rakyat.
Keduanya dipaksa mundur dari jabatannya oleh kekuatan rakyat yang tak lagi bisa dibendung. Di sisi lain, Gus Dur, presiden ketiga, yang dianggap terlalu progresif dalam pandangan politik saat itu, ditumbangkan oleh para politisi di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Ketiga peristiwa ini adalah pelajaran penting bagi kita tentang kekuatan rakyat dan politik.
Bung Karno dan Gerakan Mahasiswa 1966
Bung Karno, presiden pertama Republik Indonesia, adalah tokoh karismatik yang membawa Indonesia ke gerbang kemerdekaan.
Namun, setelah beberapa dekade kepemimpinannya, pemerintahan Bung Karno mulai dianggap otoriter dan gagal menangani masalah ekonomi serta kestabilan politik.
Pada tahun 1965-1966, krisis politik memuncak dengan terjadinya peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang memicu ketegangan luar biasa.
Mahasiswa dan elemen masyarakat mulai turun ke jalan, menuntut perubahan dan mengakhiri rezim Bung Karno yang mereka anggap sudah terlalu lama berkuasa dan terlalu banyak melakukan kesalahan.
Gerakan mahasiswa yang dikenal dengan nama “Tritura” (Tiga Tuntutan Rakyat) menghendaki pembubaran PKI, perombakan kabinet Dwikora, dan penurunan harga-harga yang melambung tinggi.
Di bawah tekanan besar ini, Bung Karno akhirnya menyerahkan kekuasaan kepada Soeharto pada tahun 1966.
Soeharto dan Reformasi 1998
Soeharto, yang kemudian menjadi presiden kedua, memimpin Indonesia selama 32 tahun dengan kekuatan otoriter melalui Orde Baru.
Di bawah kepemimpinannya, Indonesia mengalami pembangunan ekonomi yang pesat, tetapi juga disertai dengan korupsi, kolusi, nepotisme, dan pelanggaran hak asasi manusia yang meluas.
Pada akhir dekade 1990-an, krisis moneter melanda Asia, dan Indonesia tidak luput dari dampaknya. Inflasi melambung tinggi, pengangguran meningkat, dan kemiskinan merajalela.
Ketidakpuasan rakyat memuncak, dan pada tahun 1998, gerakan mahasiswa kembali menjadi ujung tombak perjuangan.
Ribuan mahasiswa dari berbagai universitas di seluruh Indonesia turun ke jalan menuntut reformasi total.
Gerakan ini mendapat dukungan luas dari berbagai elemen masyarakat, termasuk para cendekiawan, buruh, dan petani.
Pada akhirnya, di bawah tekanan yang luar biasa ini, Soeharto dipaksa mengundurkan diri pada Mei 1998, membuka jalan bagi era reformasi.
Gus Dur dan Kejatuhan oleh Politisi
Abdurrahman Wahid, atau Gus Dur, menjadi presiden ketiga Indonesia di era reformasi. Kepemimpinannya yang pluralis dan pro-kebebasan membuatnya banyak dikagumi.
Namun, gaya kepemimpinannya yang dianggap kontroversial dan tidak konvensional menimbulkan ketidaknyamanan di kalangan elite politik.
Gus Dur berani melakukan berbagai terobosan, seperti mencabut larangan organisasi Tionghoa dan merangkul berbagai kelompok minoritas.
Namun, terobosan-terobosan ini dianggap berbahaya oleh beberapa kelompok politisi yang lebih mengutamakan stabilitas kekuasaan mereka sendiri.
Dalam situasi politik yang semakin tegang, MPR akhirnya mengadakan Sidang Istimewa pada tahun 2001 yang memutuskan untuk melengserkan Gus Dur dari kursi kepresidenan.
Tidak seperti Bung Karno dan Soeharto yang ditumbangkan oleh gerakan rakyat, Gus Dur harus menghadapi intrik politik di tingkat elit, yang akhirnya menjatuhkannya.
Jokowi dan Tanggung Jawab Rakyat
Kini, kita berada di era kepemimpinan Joko Widodo (Jokowi). Ketika pertama kali terpilih, Jokowi diharapkan membawa perubahan signifikan dengan latar belakangnya sebagai “wong cilik” yang diharapkan memahami aspirasi rakyat. Namun, setelah dua periode menjabat, banyak kritik yang dilontarkan terhadap pemerintahannya.
Kebijakan yang dianggap tidak pro-rakyat, semakin meluasnya praktik oligarki, pengabaian terhadap hak asasi manusia, dan berbagai kebohongan yang disebarkan untuk melanggengkan kekuasaan, telah menodai kepemimpinannya.
Dalam kondisi ini, rakyat Indonesia harus kembali mengingat sejarah. Bung Karno dan Soeharto jatuh karena gerakan rakyat yang solid dan terorganisir.
Gus Dur jatuh oleh politisi, yang mengingatkan kita bahwa perubahan juga bisa datang dari kekuatan rakyat yang bersatu melawan elite yang lalim.
Gerakan rakyat adalah elemen penting dalam demokrasi yang sehat. Rakyat memiliki kekuatan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
Jika pemimpin gagal menjalankan amanah dengan jujur dan adil, rakyat harus bersatu untuk menyuarakan ketidakpuasan mereka.
Jokowi, yang kini sudah terjebak dalam berbagai kesalahan dan dusta, hanya bisa dilengserkan melalui gerakan rakyat yang kuat dan berkelanjutan.
Sejarah telah menunjukkan bahwa kekuatan rakyat dapat menumbangkan rezim yang otoriter dan tidak berpihak kepada rakyat.
Sebagai generasi penerus, kita harus belajar dari sejarah dan memastikan bahwa Indonesia tetap menjadi negara demokratis yang berpihak pada rakyat, bukan pada kepentingan segelintir orang.
Gerakan rakyat harus kembali bangkit untuk mengoreksi arah bangsa ini, demi masa depan yang lebih baik dan adil bagi seluruh rakyat Indonesia. ***