Dalam sepekan, Presiden Joko Widodo dua kali memberikan pernyataan pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, yang dikemas dalam bentuk doorstop atau wawancara cegat.
Pertama, pada 21 Agustus 2024 saat Kepala Negara mengomentari putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal ambang batas hingga syarat usia pencalonan kepala daerah.
Selang enam hari kemudian, pada 27 Agustus 2024, Presiden Jokowi memberikan keterangan soal aksi demonstrasi menolak pengesahan revisi undang-undang (UU) Pilkada oleh DPR RI.
Kedua isu yang ditanggapi Jokowi itu masih berkaitan dengan kontestasi Pilkada 2024, di mana putra bungsunya Kaesang Pangarep sempat ingin diusung sebagai calon gubernur Jawa Tengah, meski belum cukup usia.
Kedua pernyataan itu sama-sama diunggah di YouTube resmi Sekretariat Presiden dan akun Instagram Presiden Jokowi @jokowi.
Untuk diketahui, di kalangan wartawan, doorstop merupakan wawancara secara spontan atau mendadak yang dilakukan wartawan kepada narasumber.
Menariknya, dua kali pernyataan pers Presiden Jokowi dengan konsep doorstop sama sekali tidak melibatkan wartawan dari media massa yang biasa meliput di lingkungan Istana Kepresidenan.
Hanya sedikit alat perekam dan mikrofon yang tampak tersorot kamera dalam sesi wawancara itu.
Tidak ada mikrofon bertuliskan logo radio, logo televisi maupun alat perekam atau handphone yang biasa digunakan oleh reporter televisi, radio, cetak maupun online untuk merekam pernyataan Presiden.
Kemudian tidak terdengar riuh suara wartawan yang biasa berebut mengajukan pertanyaan kepada Kepala Negara.
Yang ada, hanya suara sejumlah pegawai Biro Pers dan Media Sekretariat Presiden yang mengajukan satu dua pertanyaan.
Di sisi lain, pada dua hari tersebut, sejumlah wartawan Istana Kepresidenan sejak pagi hingga menjelang malam hari berada di ruangan pers Istana Kepresidenan untuk berjaga-jaga jika ada kegiatan mendadak Presiden dan jajarannya yang memerlukan peliputan langsung.
Namun, wartawan yang sedang berada di pressroom istana tak diajak atau diberitahu jika Presiden Jokowi akan menyampaikan keterangan pers.
Padahal biasanya jika ada pejabat negara yang ingin melakukan wawancara doorstop di pilar Istana Kepresidenan, wartawan selalu diberitahu oleh pegawai Biro Pers dan Media Sekretariat Presiden.
Misalnya saja, saat Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto hendak memberikan pernyataan pada 6 Juni 2024 dan 8 Juli 2024.
Saat itu, wartawan yang sedang berada di pressroom istana dipanggil untuk bersiap menunggu kedatangan Prabowo untuk melakukan sesi doorstop.
Contoh lain, saat Menteri BUMN yang juga Ketua PSSI Erick Thohir ingin memberi pernyataan tentang Piala Presiden pada 10 Juli 2024.
Meski saat itu sudah menginjak pukul 19.00 WIB, wartawan Istana Kepresidenan yang masih berada di pressroom Istana dipanggil untuk mengikuti sesi doorstop di pilar Istana.
Sentimen negatif warganet
Adapun dua kali sesi doorstop Presiden Jokowi pada 21 dan 27 Agustus tersebut sama-sama diunggah dalam video reels di akun Instagram resmi @jokowi.
Dua video itu sama-sama banyak mendapat respons negatif dari warganet.
Warganet mempertanyakan mengapa Presiden Jokowi memberikan keterangan tetapi tidak ada wartawan yang riuh bertanya.
Ada pula komentar yang menanyakan di mana mikrofon televisi yang biasanya terlihat berjejer saat Kepala Negara memberikan keterangan pers.
"Ini konsepnya kayak bikin konten gitu ya Pak" kata akun @adid_maulana.
"Yang ini kok sepi?" tulis akun @bernIyta.
"Fun fact: yg wawancara bukan wartawan asli. PNS istana" kata akun @dhiofaiz.
Kompas.com telah mengonfirmasi perihal pernyataan pers Presiden Jokowi yang seolah di-setting dengan konsep doorstop kepada Deputi Bidang Protokol, Pers dan Media Sekretariat Presiden, M Yusuf Permana.
Yusuf menyatakan, pernyataan yang disampaikan Presiden tersebut bersifat memberikan keterangan.
Ia juga menolak wawancara itu disebut settingan.
"Emang settingan kah? Bukan kah itu memberikan keterangan?" kata Yusuf lewat pesan singkat pada Kamis (29/8/2024).
Sejak awal 2024
Catatan Kompas.com, pernyataan pers Presiden Jokowi yang dikemas dengan konsep doorstop secara ter-setting pernah dilakukan pada 24 Januari 2024.
Saat itu, Presiden menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan staf biro pers Istana.
Presiden Jokowi memberikan klarifikasi soal pernyataan dia sebelumnya, yang menyebutkan bahwa seorang presiden dan menteri boleh berkampanye dan memihak kepada calon tertentu saat pemilihan umum.
Kebetulan, saat itu putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka, sedang ikut kontestasi pemilu presiden, menjadi cawapres mendampingi Prabowo Subianto.
Presiden lantas menuturkan, pernyataan ia sebelumnya itu dia sampaikan karena ada pertanyaan wartawan apakah menteri boleh kampanye atau tidak.
"Itu kan ada pertanyaan dari wartawan mengenai menteri boleh kampanye atau tidak? Saya sampaikan ketentuan dari peraturan perundang-undangan," ujar Jokowi saat memberikan keterangan pers di Istana Bogor, Jawa Barat, sebagaimana disiarkan YouTube Sekretariat Presiden.
Presiden Jokowi kemudian mengambil karton putih ukuran besar yang telah disediakan oleh Biro Pers Sekretariat Presiden.
Pada karton putih itu tertulis aturan yang menjadi dasar pernyataannya.
"Ini saya tunjukin," ujar Jokowi sambil mengambil karton dan menunjukkannya.
Kepala Negara kemudian membacakan aturan yang tertulis, yakni dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu jelas menyampaikan di pasal 299 bahwa presiden dan wakil presiden mempunyai hak melaksanakan kampanye.
"Itu yang saya sampaikan ketentuan mengenai UU Pemilu, jangan ditarik kemana-mana," lanjut Presiden.
Jokowi kemudian menunjukkan lembar karton lainnya yang berisi pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017.
Dijelaskan bahwa kampanye dan pemilu yang mengikutsertakan presiden dan wakil presiden harus memenuhi ketentuan, tidak menggunakan fasilitas dalam jabatan kecuali fasilitas pengamanan, dan menjalani cuti di luar tanggungan negara.
Sehingga menurut mantan Gubernur DKI Jakarta itu aturan-aturan yang ada sudah jelas. Presiden Jokowi pun meminta agar publik tidak menarik kesimpulan atas pernyataannya ke hal-hal yang lain seperti dikutip dari kompas
Sebelum wawancara kemudian, terdengar suara seolah wartawan yang menyapa Presiden dengan ucapan ”selamat sore”.
Presiden berjalan menuju layar dengan membalas sapaan “selamat sore” kepada Staf Biro Pers Istana.
Ketika dua wawancara itu dibuat, sebetulnya wartawan Istana Kepresidenan masih di pressroom.
Tidak ada kabar sama sekali dari Biro Pers Sekretariat Presiden untuk melakukan wawancara.
Tetapi tiba-tiba, misalnya seperti pada tanggal 27 Agustus, tayangan keterangan Jokowi dibagikan, tepat pada 18.55 WIB sebelum jurnalis hendak pulang.
Keterangan Jokowi seolah wawancara doorstop ini menjadi sorotan warganet hingga aktivis. Penulis Puthut Eko Arianto misalnya, melalui media sosial X.
“Pengen ketawa… Kok bisa ya seperti seolah-olah diwawancara beneran. Kan mudah ketahuan kalau itu settingan,” kata lulusan fakultas filsafat Universitas Gadjah Mada ini mengomentari video Jokowi yang dibagikan di salah satu media.
Co Founder Watchdoc & Koperasi Indonesia Baru Dhandy Laksono memberikan komentar yang sama. Dengan satir, pembuat film ‘Sexy Killers’ ini memuji camera person yang hebat.
"’Doorstop interview’ tapi bisa anteng eye level bahkan dapat eye contact khusus,” katanya melalui X.
[VIDEO]
Zainal Arifin Mochtar Sindir Balik Jokowi: Kenapa Kekuatan Legislatif Dipakai untuk RUU Pilkada, Bukan RUU Perampasan Aset?
Pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar, mengkritik Presiden Jokowi terkait penggunaan kekuatan legislatifnya.
Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan baru-baru ini, Zainal menyoroti kekuatan besar yang dimiliki Presiden Jokowi dalam proses legislasi.
"Kalo getol untuk UU Perampasan Aset, Pak Presiden yang saya hormati, bapak lebih kuat dalam legislasi," ujar Zainal dalam keterangannya di aplikasi X @zainalamochtar (29/8/2024).
Terutama, karena dukungan koalisi partai politik yang sangat dominan di parlemen.
"Punya koalisi 82 persen di parlemen, punya penegak hukum yang biasa dipakai nekan-nekan ketua Partai," tukasnya.
Zainal kemudian mempertanyakan keputusan Presiden Jokowi yang lebih memilih untuk mendorong Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) dibandingkan RUU Perampasan Aset.
"Kenapa itu dipakai di RUU Pilkada? Bukan dipake di RUU Perampasan Aset? Mikir!," tandasnya.
Sebelumnya diketahui, RUU Pilkada sempat menjadi perbincangan paling hangat setelah DPR RI berencana melakukan revisi.
Namun, setelah massa aksi di seluruh Indonesia tumpah ruah menyuarakan penolakan dengan tegas, rencana itu pun urung dilakukan.
DPR RI pada akhirnya batal mengesahkan Rancangan Undang-undang (RUU) Pilkada menjadi UU yang dijadwalkan dalam Rapat Paripurna Kamis (22/8/2024).
"Pengesahan revisi UU Pilkada yang direncanakan hari ini tanggal 22 Agustus batal dilaksanakan," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad lewat akun media sosial X, Kamis (22/8) sore.***