Hakim konstitusi Anwar Usman mengajukan upaya hukum banding atas putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Putusan dengan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT tersebut terkait dengan pengangkatan hakim Suhartoyo sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PTUN Jakarta, Anwar Usman melayangkan banding, Selasa (27/8/2024).
"Data pemohon banding: Selasa, 27 Agustus 2024. Prof. Dr. Anwar Usman, S.H., M.H," demikian dikutip dari laman SIPP PTUN Jakarta, Rabu (28/8/2024).
Hal itu terlihat dari data-data terkait Perkara Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT.
Tribunnews.com masih berupaya menghubungi pihak Anwar Usman terkait banding yang dilayangkannya tersebut.
Hingga saat ini juga belum ada informasi banding dari pihak lainnya yang terlibat dalam perkara tersebut.
Khususnya Ketua MK Suhartoyo, sebagai pihak Tergugat dalam perkara ini.
Diabetes Bukan Dari Makanan Manis! Temui Musuh Utama Diabetes
Glucoformin
Warga Padang Yang Sakit Lutut dan Pinggul Wajib Membaca Ini!
Bone Powder Drink
Musuh Terburuk Hipertensi. Baca Sebelum Dihapus
Cardionormin
Hilangkan Garis Halus & Kerutan Wajah. Hasilnya hanya 3 Minggu
Invanil
Sebelumnya, Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta mengabulkan gugatan yang diajukan hakim konstitusi Anwar Usman perihal pengangkatan hakim Suhartoyo sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam Putusan Nomor 604/G/2023/PTUN.JKT, PTUN mengabulkan sebagian gugatan yang diajukan Anwar Usman.
"Mengabulkan Gugatan Penggugat untuk sebagian," demikian petikan putusan PTUN dikutip dari laman direktori Mahkamah Agung.
Dalam putusannya PTUN menyatakan keputusan MK Nomor 17 Tahun 2023 tertanggal 9 November 2023 tentang pengangkatan Suhartoyo sebagai MK masa jabatan 2023-2028 batal atau tidak sah.
Maka itu PTUN Jakarta mewajibkan surat keputusan tersebut dicabut.
"Mewajibkan Tergugat untuk mencabut Keputusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor: 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Dr Suhartoyo SH MH sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028," bunyi amar putusan PTUN itu.
PTUN juga mengabulkan permohonan Anwar Usman untuk dipulihkan harkat dan martabatnya sebagai Hakim Konstitusi seperti semula.
Namun, PTUN Jakarta tidak mengabulkan permohonan Anwar Usman untuk dikembalikan kedudukannya sebagai Ketua MK masa jabatan 2023-2028 seperti semula.
PTUN juga tidak menerima permohonan penggugat agar menghukum MK membayar uang paksa sebesar Rp 100,- (seratus rupiah) per hari, apabila tergugat lalai dalam melaksanakan putusan ini, terhitung sejak putusan ini berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde).
Namun demikian putusan tersebut belum inkrah, lantaran MK masih bisa mengajukan banding.
Sebagai informasi, Anwar Usman sebelumnya menggugat Suhartoyo sebagai Ketua MK ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Berdasarkan data dalam sistem informasi penelusuran perkara atau SIPP PTUN Jakarta, gugatan tersebut diajukan Anwar, pada Jumat (24/11/2023).
Dalam gugatannya Anwar Usman meminta PTUN menyatakan batal atau tidak sah Keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2023, tanggal 9 November 2023 tentang Pengangkatan Ketua Mahkamah Konstitusi Masa Jabatan 2023-2028 seperti dikutip dari tribunnews
Pengangkatan Ketua MK Pengganti Anwar Usman Dinyatakan Batal Demi Hukum, Berikut Penjelasan Lengkap Ahli
Dr. Abdul Khoir memberikan keterangan sebagai ahli dalam persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta pada 26 Juni 2024 lalu.
Adapun, kehadirannya sebagai ahli dalam perkara Nomor 604/G/2023 tersebut, terkait dengan putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) Nomor 2/MKMK/L/II/2023 yang menyebabkan Prof Anwar Usman kehilangan jabatannya sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Menurut ahli, tidak diberikannya hak banding kepada Prof Anwar Usman merupakan bagian dari menghalangi hak dalam rangka pembelaan dirinya.
Bahkan yang mendalilkan penemuan hukum (Rechtsvinding/ijtihad) tidak berlaku bagi majelis MKMK.
"Dalil ukuran proporsionalitas dan terobosan atas bentuk sanksi tidak dapat dibenarkan," tegas Abdul Khoir.
Karena, putusan MKMK tidak sebangun atau tidak sederajat dengan putusan Badan Peradilan. Terlebih lagi, soal penafsiran hukum, tentunya menunjuk pada ketiadaan dan ketidakjelasan norma Undang-undang, sehingga membuka ruang penemuan hukum.
"Pengaturan sanksi bagi Hakim Konstitusi telah diatur secara jelas dan tegas. Oleh karenanya tidak dibenarkan untuk melakukan penemuan hukum dimaksud," ungkap ahli.
Ditambahkan Abdul Khoir, pemeliharaan tata hukum positif merupakan hal utama dan salah satunya mendasarkan pada asas legalitas.***