Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia mengakui masyarakat lokal di sekitar tambang belum mendapatkan manfaat dari hilirisasi.
Dia mengatakan hal itu merupakan hasil dari penelitian yang sedang dia kerjakan.
“Memang penelitian saya, hilirisasi itu yang mendapat manfaat paling besar sekarang ini adalah investor dan pemerintah pusat,” kata Bahlil saat memberi kuliah di Universitas Paramadina, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 27 Juli 2024.
Namun, Bahlil mengklaim belum meratanya manfaat hilirisasi bukan kesalahan pemerintah.
Menurut dia, kekurangan hilirisasi tak akan terungkap bila pemerintah tak pernah memulai.
Sebelum era Presiden Joko Widodo atau Jokowi, Bahlil mengklaim pemerintah tak berani mengeksekusi Undang-Undang Hilirisasi. Padahal, beleid itu telah ada sejak 2004.
"Empat tahun begitu jalan, kita lihat ada hal yang harus kita perbaiki,” kata dia.
Karena itu, mantan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) ini mengatakan pemerintah saat ini sedang membuat reformulasi kebijakan agar daerah menjadi objek dan subjek dari hilirisasi.
Pada masa mendatang, Bahlil menargetkan, hilirisasi harus berkeadilan dan berkelanjutan, baik dalam aspek lingkungan maupun industri.
“Ke depan, hilirisasi itu adalah hilirisasi berkeadilan yang melibatkan rakyat untuk dapat keuntungan sebanyak-banyaknya, apalagi mereka di sekitar tambang,” kata Bahlil.
Pada kuliah umum di Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Jatinangor pada Kamis, 11 Juli 2024, Bahlil mengakui hilirisasi belum 100 persen dilakukan secara berkeadilan.
“Saya jujur mengatakan bahwa hilirisasi sekarang itu belum betul-betul berkeadilan 100 persen. Saya harus jujur di ruangan ini," kata dia.
Bahlil menuturkan, kehadiran investasi yang mengeksplorasi sumber daya alam tentu akan berdampak kepada masyarakat.
Bila investasinya berupa produksi tambang seperti nikel, tembaga atau batu bara pasti lahan setempat akan diambil.
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) pernah mengungkapkan, kualitas air perairan di kawasan Teluk Weda dan Pulau Obi terindikasi mengalami pencemaran yang diduga akibat dampak penambangan dan hilirisasi nikel.
Bahkan, tingkat pencemaran sudah terakumulasi hingga ke biota laut seperti ikan.