Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memutuskan bahwa semua komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI melanggar etik dalam pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden.
Keputusan untuk mendiskualifikasi Gibran dari Pilpres 2024 bisa saja dilakukan oleh DKPP dalam putusan yang dibacakan pada Senin (5/2/2024).
Namun, hal itu tidak dilakukan. DKPP memilih hanya fokus menjatuhkan sanksi kepada para komisioner KPU yang telah melanggar aturan dalam menerima pencalonan Gibran.
Para komisioner KPU dianggap melanggar etik karena memproses pendaftaran Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, tanpa mengubah syarat usia minimum capres-cawapres pada Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 90/PUU-XXI/2023.
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari mendapatkan sanksi paling berat.
"Hasyim Asy'ari sebagai teradu 1 terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara Pemilu," kata Ketua DKPP Heddy Lugito saat membacakan putusan sidang di Jakarta.
Selain itu, DKPP juga menjatuhkan sanksi peringatan keras kepada enam Komisioner KPU, yakni August Mellaz, Betty Epsilo Idroos, Mochamad Afifuddin, Yulianto Sudrajat, Parsadaan Harahap, dan Idham Holik.
Mengapa KPU dinyatakan langgar etik?
Total, ada empat aduan terhadap semua komisioner KPU RI terkait perkara etik pencalonan Gibran ini.
Keempat perkara tersebut diadukan oleh Demas Brian Wicaksono (Perkara nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023), Iman Munandar B. (perkara nomor 136-PKE-DKPP/XII/2023), P.H. Hariyanto (perkara Nomor 137-PKE-DKPP/XII/2023), dan Rumondang Damanik (perkara nomor 141-PKE-DKPP/XII/2023).
Pada 25 Oktober 2023, KPU telah menerima berkas pendaftaran pencalonan Gibran.
Padahal, berdasarkan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 yang ketika itu belum direvisi, Gibran tidak memenuhi syarat karena belum berusia 40 tahun.
KPU berdalih, Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang mengubah syarat usia capres-cawapres sudah cukup untuk dijadikan dasar memproses pencalonan Wali Kota Solo berusia 36 tahun itu.
Walau demikian, pada akhirnya, KPU toh mengubah persyaratan capres-cawapres, dengan merevisi PKPU Nomor 19 Tahun 2023. Akan tetapi, revisi itu baru diteken pada 3 November 2023.
Dalam pertimbangan putusan yang dibacakan oleh Anggota DKPP I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, KPU seharusnya segera melakukan konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pemerintah setelah Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 pada 16 Oktober 2023.
Ini diperlukan agar Peraturan KPU Nomor 19 Tahun 2023 selaku aturan teknis pilpres bisa segera direvisi akibat dampak putusan MK.
"Para teradu baru mengajukan konsultasi kepada DPR pada 23 Oktober 2023, atau 7 hari setelah putusan MK diucapkan," kata Raka.
Menurut dia, dalam persidangan para teradu berdalih baru mengirimkan surat pada 23 Oktober 2023 karena DPR sedang dalam masa reses.
Akan tetapi, kata Raka, alasan dari KPU terkait keterlambatan permohonan konsultasi dengan DPR dan pemerintah usai putusan MK tidak tepat.
"DKPP berpendapat dalih para teradu terbantahkan karena dalam masa reses dapat dilakukan rapat dengar pendapat, sebagaimana diatur dalam Pasal 254 Ayat 4 dan ayat 7 Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib," ujar Raka.
Selain itu, kata Raka, DKPP menyatakan sikap para komisioner KPU dengan terlebih dulu menyurati pimpinan partai politik usai putusan MK tentang syarat batas usia capres-cawapres ketimbang melakukan konsultasi dengan DPR dan pemerintah juga menyimpang dari Peraturan KPU.
"Para teradu dalam menaati putusan MK a quo dengan bersurat terlebih dulu kepada pimpinan partai politik adalah tindakan yang tidak tepat dan tidak sesuai dengan perintah pasal 10 Peraturan KPU Nomor 1 tahun 2022 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan dan Keputusan di lingkungan KPU," ucap Wiarsa.
Bisa koreksi pencalonan Gibran jika DKPP progresif
Kubu pengadu meminta supaya KPU RI mendiskualifikasi putra sulung Presiden Joko Widodo itu dari Pilpres 2024 yang tinggal berjarak 9 hari.
Petrus Selestinus dari Tim Pembela Demokrasi 2.0 (TPDI 2.0), satu barisan dengan P.H. Hariyanto selaku pengadu, menegaskan bahwa putusan DKPP menempatkan Gibran maju sebagai cawapres melalui perbuatan melanggar etika, sehingga tidak layak dan pantas mendampingi Prabowo.
"Secara moral legitimasi KPU telah mengalami kehancuran di mata publik dan untuk mengembalikan legitimasinya itu, maka KPU RI tidak punya pilihan lain selain harus berjiwa besar mendeklarasikan sebuah keputusan progresif," kata Petrus ketika dikonfirmasi Kompas.com, Senin.
"Pertama, mendiskualifikasi pasangan capres-cawapres Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024," ujarnya.
Kedua, menurut Petrus, KPU harus memerintahkan Koalisi Indonesia Maju (KIM) mengajukan calon pengganti capres-cawapres tanpa Prabowo-Gibran.
Ia juga mengungkit bahwa pencalonan Gibran sebelumnya, yang berpijak pada Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023, melibatkan pelanggaran etika berat eks Ketua Mahkamah Konstitusi yang notabene pamannya, Anwar Usman.
"Ketiga, menunda penyelenggaraan Pemilu dalam waktu 2 x 14 hari terhitung sejak tanggal 14 Februari 2024 agar partai KIM mengajukan calon presiden dan calon wakil presiden pengganti, akibat diskualifikasi terhadap capres-cawapres Prabowo-Gibran," kata dia.
Mantan Ketua DKPP, Muhammad, menyebut bahwa DKPP sebenarnya bisa saja membuat pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden ditinjau ulang melalui putusannya.
"Kalau misalnya DKPP-nya progresif, dia bisa saja meminta KPU melakukan koreksi terhadap proses-proses yang dilakukan. Tapi dalam putusan itu kan tidak dilakukan," ujar Muhammad kepada Kompas.com, Senin.
"Kita berharap putusan etik itu sebenarnya bisa dipedomani sebagai rambu-rambu kalau ada yang tidak tertib hukum ya. Karena ini kan tidak tertib hukum--dengan penjatuhan sanksi ini KPU tidak tertib hukum. Tapi, putusan DKPP rupanya tidak masuk (ke sisi hukum)," ungkapnya.
Muhammad menambahkan, sifat putusan DKPP final dan mengikat. Para teradu tidak bisa meninjau kembali putusan itu. Mereka harus melaksanakan putusan DKPP.
"Apakah kemudian ada dampak terhadap pencalonan Gibran, ya sepanjang di putusan DKPP tidak disebutkan bahwa pencalonan Gibran bermasalah dan harus dikoreksi, ya tidak ada dampaknya," kata Muhammad. Putusan DKPP memang bisa memasuki ranah hukum.
Ambil contoh, pada Jumat (8/12/2023), DKPP menyatakan seluruh komisioner Bawaslu RI melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu karena melantik kader Partai Nasdem, Winsi Kuhu, sebagai anggota Bawaslu Kalimantan Tengah 2022-2027.
Pada putusan nomor 120-PKE-DKPP/IX/2023 tersebut, Winsi Kuhu dinyatakan tidak memenuhi syarat sebagai anggota Bawaslu Provinsi Kalimantan Tengah periode 2022-2027.
Dalam tujuh hari sejak putusan dibacakan, Bawaslu kemudian menindak Winsi Kuhu sesuai putusan DKPP dengan memberlakukan pergantian antarwaktu (PAW).
Pada 2013 silam, DKPP menyatakan sah dukungan Partai Kedaulatan (PK) dan Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia (PPNUI) kepada pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur Khofifah-Herman (Berkah).
Dengan putusan ini, pasangan Berkah yang awalnya dinyatakan tidak lolos sebagai peserta pilgub oleh KPU Jatim, akhirnya punya melaju dalam kompetisi meskipun kalah.
Kendati demikian, Ketua DKPP Heddy Lugito menegaskan bahwa putusan soal pelanggaran etik semua komisioner KPU RI dalam memproses pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai cawapres tidak berpengaruh terhadap pencalonan Gibran.
"Putusan DKPP murni tetang pelanggaran etik ketua dan anggota KPU," Heddy Lugito kepada Kompas.com, Senin (5/2/2024).
"Tidak berpengaruh terhadap pencalonan capres dan cawapres," tegasnya
Tanggapan KPU
Ketua KPU RI Hasyim Asy'ari tak berkomentar banyak perihal putusan ini. Ia menyebut, tanggapan KPU sudah disampaikan dalam rangkaian persidangan yang telah berjalan sebelum pembacaan putusan.
Ia juga menyinggung bahwa sebagai penyelenggara pemilu, KPU selalu berada dalam posisi "ter", baik terlapor, teradu, termohon, dan "ter" lainnya.
Sementara itu, Koordinator Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu KPU RI, Idham Holik, selaku anggota KPU RI yang membesut teknis pencalonan presiden dan wakil presiden, menilai bahwa ada unsur paradoks dalam putusan DKPP.
"Dalam pertimbangan DKPP pada Putusan Nomor 135-PKE-DKPP/XII/2023, No. 136-PKE-DKPP/XII/2023, No. 137-PKE-DKPP/XII/2023, dan No. 141-PKE-DKPP/XII/2023, khususnya yang tertuang dalam halaman 188 pada Putusan tersebut, DKPP menilai KPU sudah menjalankan atau melaksanakan tugas konstitusional," kata Idham kepada Kompas.com, Senin.
Pertimbangan DKPP yang dimaksud berbunyi:
"Bahwa berdasarkan ketentuan tersebut di atas, KPU in casu Para Teradu memiliki kewajiban untuk melaksanakan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut sebagai perintah konstitusi. Bahwa tindakan Para Teradu menindaklanjuti Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dalam pencalonan peserta pemilu Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024 adalah tindakan yang sudah sesuai dengan Konstitusi”.
Idham menambahkan, secara hierarkis, UUD 1945 adalah hukum tertinggi di Indonesia. Putusan MK pun bersifat final, dan lanjutnya, memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dan tidak ada upaya hukum yang dapat ditempuh.
Ini menyebabkan pencalonan Gibran, walaupun KPU belum merevisi Peraturan KPU, tetap dianggap sah karena dianggap langsung mengacu pada Putusan MK yang tarafnya setara UUD 1945.
"Putusan tersebut secara materi mengandung kalimat yang paradoksal. Di satu sisi KPU dinyatakan oleh DKPP telah melaksanakan tugas menyelenggarakan tahapan pencalonan sudah sesuai konstitusi, tetapi di sisi lain KPU dinyatakan oleh DKPP tidak sesuai dengan tata kelola administrasi tahapan pemilu," kata Idham.
Ia juga menyinggung bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI, sebagai pihak terkait di persidangan DKPP, telah menegaskan bahwa dalam penerimaan pendaftaran pasangan capres-cawapres, KPU sudah sesuai aturan.
"Perlu kami tegaskan bahwa Bawaslulah yang memiliki kewenangan atributif untuk menangani dugaan pelanggaran administratif," ucap Idham.