Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

'Ketika Megawati dan PDI Dizalimi Penguasa'

 'Ketika Megawati dan PDI Dizalimi Penguasa'

ALKISAH , ketika itu penguasa rezim otoriter Orde Baru sedang gencar melakukan manuver kekuasaan guna menghambat laju lawan politiknya. Tentakel kekuasaan itu bermula di Sukolilo, Surabaya, ketika Partai Demokrasi Indonesia (PDI) sedang menyelenggarakan kongres luar biasa yang digelar pada 2-6 Desember 1993.

Dalam kongres itu, santer nama dua tokoh kuat yang bersaing: Budi Hardjono seorang anggota pengurus yang didukung pemerintah, versus Megawati Soekarnoputri, putri Bung Karno yang kehadirannya tidak diinginkan oleh penguasa rezim.

KLB pun berjalan, ada 256 dari 305 Dewan Pimpinan Cabang PDI mendukung Megawati. Tinggal dipilih lagi Megawati jadi Ketua Umum PDI. Namun mendengar kabar itu, penguasa tak tinggal diam. Intervensi kekuasaan membuat KLB Surabaya berujung kebuntuan.

Pada tanggal 6 Desember 1993, pengurus kabur tanpa menetapkan Ketua Umum PDI terpilih. Dalam situasi yang sengaja dibuat kacau itu, Megawati tetap menyatakan dirinya sebagai Ketua Umum PDI secara de facto.

Dan sebagai upaya konsolidasi internal, pada tanggal 22 Desember 1993, PDI menggelar musyawarah nasional (Munas) di Kemang, Jakarta Selatan (selanjutnya disebut Munas Jakarta). Semua peserta secara aklamasi mendukung Megawati menjadi Ketua Umum PDI. Namun, kepemimpinan Megawati hasil Munas Jakarta tetap rentan.

Menurut Soerjadi, partai kongres harus tetap digelar untuk memilih pengurus selepas Munas. Sebaliknya, menurut Megawati, kepengurusan dia sah sampai periode 1999. Dengan didukung penuh penguasa, KLB Medan diadakan pada 20-23 Juni 1996. Megawati pun absen dalam kongres yang dijaga ketat tentara itu. Sementara Soerjadi terpilih menjadi Ketua Umum PDI tanpa hambatan.

PDI pun terbelah. Soerjadi banyak mendapat dukungan dari pengurus tingkat nasional dan pemerintah pusat. Sedangkan di daerah, pengurus PDI tingkat kabupaten/kota justru setia kepada Megawati. Banyak anggota PDI menyatakan "siap mati untuk Megawati". Di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dikenal dengan adagium “pejah gesang nderek Mbak Mega”.

Perlawanan terhadap rezim pun dimulai, Megawati tak tinggal diam. Seperti Soerjadi, dukungan terhadap Megawati tidak datang dari orang-orang besar yang mengendalikan kekuasaan. Dukungan itu berduyun-duyun datang dari massa akar rumput, simpatisan PNI, orang-orang yang mengikuti ayahnya, Bung Karno. Maka tak jarang, pesta itu sering disebut “partai sandal jepit”.

Namun protes turun ke jalan terhadap intervensi kekuasaan atas PDI itu dilarang keras oleh rezim otoriter Orde Baru. Sebaliknya, kubu pendukung PDI pro-Mega menyelenggarakan Mimbar Demokrasi setiap hari di halaman kantor DPP PDI. Mimbar demokrasi ini diisi oleh orasi-orasi protes yang dihadiri banyak orang.

Mulanya, protes tersebut mengarah pada intervensi kekuasaan atas PDI. Namun lambat laun diluncurkan, protes itu berkembang menjadi tuntutan akan reformasi secara luas pemerintahan. Sehingga PDI pun tampil bukan hanya sebagai kekuatan oposisi rezim Orde Baru, namun juga pionir dan perintis jalan reformasi.

Melihat perlawanan yang kian menggeliat, Soeharto pun gerah. Megawati menjadi anggota PDI pada tahun 1987. Saat itu partai yang didirikan pada 10 Januari 1973 tersebut akan mengikuti pemilihan umum untuk ketiga kalinya. Ia mengawali kariernya sebagai Ketua DPC PDI Jakarta Pusat.

Pada dua pemilu sebelumnya, PDI selalu di posisi buncit. Suara partai ini hanya 8,05 persen (29 kursi) pada Pemilu 1977, dan 6,66 persen (24 kursi) pada Pemilu 1982. Namun ketika Megawati naik panggung politik, suara PDI kian meningkat. Ketika Megawati tampil di panggung kampanye, massa PDI selalu berlimpah.

Pada Pemilu 1987, suara PDI pun meningkat menjadi 10 persen (40 kursi), dan 14 persen (56 kursi) pada Pemilu 1992. Semua ini membuat penguasa Orde Baru risau.

Tak lama kemudian, Panglima ABRI Feisal Tanjung menilai mimbar demokrasi di kantor PDI sebagai tindakan "subversif". Kepala Staf Sosial Politik ABRI Syarwan Hamid mendorong Soerjadi untuk mengambil alih.

Maka pada Sabtu, 27 Juli 1996 kantor DPP PDI diserbu massa Soerjadi. Mengutip laporan Kompas pada 29 Juli 1996, kejadian yang dikenal sebagai Kudatuli ini berlangsung selama 1,5 jam di Jalan Diponegoro.

Komnas HAM melakukan identifikasi terhadap peristiwa tersebut. Berdasarkan catatannya, ada 5 orang tewas, 149 luka, serta 23 orang hilang. Namun peristiwa Kudatuli mengubah lanskap politik tanah air, gerakan pro-demokrasi terjadi di senjakala riwayat Orde Baru.

Dari Kudatuli menjadi Aliansi Mega-Bintang

Setelah kantornya diluluhlantahkan, Megawati tak mundur. Walau kantor barunya terus menerus dilarang dan disegel. Maka ia pun berkantor di rumahnya di jalan Kebagusan. Salah satu peristiwa penting di kantor tersebut adalah perayaan ulang tahun PDI pada 10 Januari 1997.

Dalam acara yang dihadiri banyak orang itu, Megawati menyampaikan pidato politik bahwa DPP PDI periode 1993-1998 di bawah kepemimpinannya adalah yang sah, sah, dan berhak menjadi Organisasi Peserta Pemilu (OPP) pada Pemilu 1997.

Namun pemerintah Orde Baru menolak penegasan tersebut. Pemerintah hanya mengakui PDI Soerjadi yang diperbolehkan ikut pemilu. Segala aktivitas politik PDI pimpinan Megawati pun dilarang, kegiatan pun tak mendapatkan izin pemerintah.

Upaya Megawati untuk ikut pemilu tak surut, ia mengeluarkan Manifesto Politik dan berharap agar aparat pemerintah baik sipil maupun militer sebagai penyelenggara pemilu bertindak dan bersikap netral serta adil terhadap semua kontestan dan organisasi peserta pemilu.

Hingga pada tanggal 7 Mei 1997 hanya sehari sebelum jatah masa kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terjadi pertemuan antara Megawati dan Ketua DPC PPP Surakarta Mudrick Sangidoe. Kasak-kusuk menguat, bahwa itu isyarat agar massa pro-Megawati mengalihkan suaranya kepada PPP.

Aliansi Mega-Bintang pun menyeruak. Dari Solo, gemuruh Mega-Bintang menyebar dengan cepat ke daerah lain. Arak-arakan dan konvoi selama kampanye dipenuhi oleh atribut warna merah-hijau serta poster dan spanduk bertuliskan “Mega-Bintang”.

Di Jakarta, banyak PPP tumpah ruah yang menghijaukan jalan-jalan dan kawasan-kawasan penting. Di antara ribuan massa hijau itu terlihat kelompok-kelompok yang membentangkan poster-poster Megawati. Terdengar pula yel-yel yang memancarkan frasa "Mega Bintang".

Harian Kompas menyebut kampanye Mega Bintang juga terjadi di Tegal, Jawa Tengah. Bahkan di sana lebih terang-terangan. Sekira 7 ribu pendukung Megawati menyatakan dirinya bergabung dengan PPP.

Sementara itu di Samarinda, Kalimantan Timur, seribuan warga banteng pro-Megawati membaur di antara berkumpulnya massa Partai Kabah. Di hadapan massa itu, Ketua DPC PPP Samarinda Khairul Fuad dengan gamblang menyatakan pencalonan Ismail Hasan Metareum dan Megawati Soekarnoputri sebagai pasangan presiden dan wakil presiden Indonesia periode 1998-2003.

Ketika gelombang Mega-Bintang kian membesar, pemerintah saat itu pun waswas. Tak lama, pemerintah melarang segala atribut, poster dan spanduk Mega-Bintang. Semua atribut yang terpasang pun diberangus.

Pelarangan terhadap kampanye Mega-Bintang pun digelorakan masif oleh pemerintah. Tidak jelas aturan mana yang dilanggar. Namun pemerintah melalui Jaksa Agung dan Mendagri berkilah bahwa atribut kampanye Mega-Bintang belum mengantongi izin polisi, sehingga dianggap ilegal.

Sejumlah pakar politik menyebut bahwa kampanye Mega-Bintang itu lahir dari kritisisme rakyat atas kesewenang-wenangan rezim Orde Baru. Gerakan Mega-Bintang bukanlah manuver organ lawan yang diorkestrasi dan digalang oleh rezim yang berkuasa. Ia adalah wujud kesatuan perangai; rasa senasib dan sepenanggungan untuk melawan ketidakadilan dan intervensi kekuasaan Orde Baru yang mencoba mengangkangi demokrasi.

Meski berjalan tak lama, sekutu Mega-Bintang adalah bukti bahwa tangan kekuasaan tak lebih panjang dari lolongan hati rakyat yang tak lagi sabar dan melawan pembodohan serta represi pemerintahan Orde Baru.

Ia menjadi salah satu prolog kisah terjungkalnya Soeharto setahun kemudian. Padahal sebelum kekuasaan Orde Baru tumbang, Soeharto tengah mempersiapkan Putri sulungnya, Siti Hardijanti Hastuti, yang biasa disapa Mbak Tutut, sebagai orang nomor satu di Indonesia alias Presiden setelah ia diangkat menjadi Menteri Sosial atau wanita.

Hal ini terkonfirmasi oleh keterangan Salim Said dalam memoar politiknya yang berjudul "Menyaksikan 30 Tahun Pemerintahan Otoriter Soeharto". Pada bulan Maret 1998, Soeharto, yang terpilih sebagai presiden untuk ketujuh kalinya, mengumumkan kabinet. serupa telah diramalkan Salim Said, Tutut mendapat jatah Menteri Sosial. Hanya tinggal menunggu waktu saja ia mengganti posisi sang ayah.

Namun sebelum semua skenario itu mencapai tujuannya, Soeharto ditumbangkan oleh gerakan Reformasi 1998. Soeharto pun runtuh. Ia runtuh bukan karena dibegal oleh hakim Mahkamah Konstitusi, melainkan oleh kemuakan rakyat atas kekuasaan yang dijalankannya.

Dan ketika Soeharto lengser keprabon, di masa senjakalanya, seperti yang diceritakan Yusril Ihza Mahendra, Soeharto hidup di cendana sendirian.

“Rumah sepi enggak ada orang. Pak Harto duduk di kursi goyang. Ini yang sekian lama berkuasa di Indonesia, duduk sendirian di kursi goyang,” kata Yusril.

Tak ada Harmoko di rumahnya, tak ada orang-orangnya yang gemar menebar puja-puji yang selama 32 tahun di sekelilingnya. Ketika tangannya tak lagi memegang kekuasaan, tak ada orang yang mendekat, orang-orang yang dulu siap mengikuti arahan perintahnya, tak terlihat batang hidungnya.

Layaknya pepatah Jawa: wong kuasa iku koyo nunggang macan, jika anda tak mampu mengendalikannya maka ia akan membalikkan serangan sang penunggang. Semakin kekuasaan itu sewenang-wenang-wenang bukan pertanda semakin kuat, namun semakin dekat dengan kehancuran. ***

Sumber Berita / Artikel Asli : rmol

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved