Sholawat Badar menjadi salah satu sholawat yang paling populer di Indonesia. Lafal dan ritme sholawat ini sangat khas, sehingga kerap digunakan sebagai sholawat penyemangat.
Terkadang, kita mendengar sholawat ini dilantunkan ketika pengajian, atau ketika sebuah majelis kedatangan tamu penting.
Dalam kesempatan lain, sholawat ini dibacakan dalam sebuah acara kaum muda, dan biasanya dilantunkan bersama sholawat maupun mars lainnya.
Sholawat Badar menjadi sholawat wajib warga NU dan dikenal luas hingga pelosok negeri. Bahkan, banyak pula yang kemudian memopulerkan sholawat ini dengan lintas genre musik. Ada pop, langgam melayu, ada pula musik rock.
Meski begitu populer, banyak yang belum mengetahui pencipta sholawat tersebut. Selain itu, banyak pula yang tidak mengetahui sejarah sholawat Badar yang sempat menjadi syair untuk melawan proganda PKI melalui lagu Genjer-Genjer.
Sholawat ini memang diciptakan saat situasi genting. Kala itu, terjadi konfrontasi keras di berbagai daerah antara umat Islam melawan PKI.
Dalam hal ini, NU berlawanan secara langsung karena kantong-kantong PKI banyak bertebaran dan bersinggungan dengan basis kelompok NU.
Berikut ini adalah lafal sholawat badar, arti dan sejarahnya.
Lafal Sholawat Badar
Mengutip laman NU, syair ini diawali dengan kata 'Shalatullah salamullah alaa thaha rasulillah, Shalatullah salamullah alaa yasin habibillah', Shalawat ini terdiri dari 24 bait dengan dua baris di setiap baitnya.
Namun siapa sebenarnya pengarang Shalawat Badar yang saat ini sudah menjadi Mars NU? Sholawat Badar dikarang oleh KH M Ali Manshur sekitar tahun 1960-an.
Kiai Ali Manshur memiliki garis keturunan berdarah ulama besar. Dari ayah, tersambung hingga Kiai Shiddiq Jember sedangkan dari jalur ibu, tersambung dengan Kiai Basyar, seorang ulama di Tuban.
"Abah dilahirkan di Jember pada 23 Maret 1921. Nasabnya masih menyambung ke Kiai Shidiq Jember. Kalau dari jalur ibu asli orang Tuban," kata putra kedua Kiai Ali yang bernama Kiai Syakir Ali, Senin (4/2),dikutip dari nu.or.id via kanal Islami Liputan6.com, Jumat (6/10/2023).
Melawan Genjer-Genjer PKI
Alkisah, seusai nyantri, Kiai Ali kembali ke Tuban dan aktif berorganisasi di Gerakan Pemuda Islam Indonesia (GPII).
Ia juga aktif sebagai seorang pegawai di bawah Kementerian Agama. Tepatnya, menjadi Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) di kecamatan hingga promosi menjadi Kepala Kementerian Agama (Kemenag) di tingkat kabupaten.
Pada tahun 1955, Kiai Ali terpilih sebagai anggota Konstituante mewakili Partai NU Cabang Bali. Pada 1962, ia memutuskan pindah ke Banyuwangi dan dipercaya menjadi Ketua Cabang NU Banyuwangi. Selama di Banyuwangi inilah, Kiai Ali melahirkan karya fenomenal Shalawat Badar.
Ada kisah yang sangat menyita perhatian sesaat sebelum Kiai Ali menulis Shalawat Badar. Kiai Ali bermimpi didatangi orang berjubah putih yang diduga para ahli perang badar.
Akhirnya Kiai Ali menuliskan lirik sholawat Badar. Pada tahun-tahun tersebut, sekitar 1960, gesekan antar-kelompok makin meningkat, yang didalangi oleh PKI.
Kiai Ali adalah orang yang suka menulis. Di antara catatan dalam tulisan pegon yang ditemukan seperti:
"Naliko kulo gawe lagune Shalawat Badar, yoiku sak ba'dane teko songko Makkah al-Mukarramah, kang tak anyari waktu lailatul qiro'ah kelawan ngundang almarhum Haji Ahmad Qusyairi sak muride. Yoiku ono malem jum'at tahun 1960, tonggoku podo ngimpi weruh ono bongso sayyid utowo habib podho melebu ono omahku. Wa karimati, Khotimah, ugo ngimpi ketho' kanjeng Nabi Muhammad iku rangkul-rangkulan karo al-faqir. Kiro-kiro dino jum'at ba'da shubuh, tonggo-tonggo podho ndodok lawang pawon, podho takon: 'Wonten tamu sinten mawon kolo ndalu?'. Lajeng kulo tanglet Habib Hadi al-Haddar, dan dijawab: 'Haa ulaai arwaahu ahlil badri rodhi-yalloohu 'anhum'. Alhamdulillahi Robbil 'aalamiin".
Begitu diciptakan, sholawat ini kemudian meledak dan begitu populer. Sholawat ini cepat menyebar ke berbagai wilayah untuk menandingi lagu proaganda PKI 'Genjer-genjer'.
"Bila melihat isi sholawatnya maka tak bisa lepas dari kondisi zaman saat itu. Banyak rakyat yang susah mencari makan karena perang sesama anak bangsa," beber Kiai Syakir.
Selain itu, sebelum wafat, Kiai Ali juga mengarang sebuah kitab akhlak dan mengumpulkan syair-syair indah.
Jariyah lain yang ditinggalkan Kiai Ali yaitu madrasah di samping rumahnya. Hingga kini, madrasah tersebut sudah berkembang hingga tingkat aliyah.
Jadi Mars NU dan Wafatnya KH Ali Manshur
Sosok Kiai Ali Manshur memang unik, makamnya berada di Desa Maibit, Kecamatan Rengel, Kabupaten Tuban. Dulu tak banyak yang tahu kalau Kiai Ali di makamkan di Desa Maibit. Bahkan beberapa warga desa setempat tak mengenal sepak terjang Kiai Ali.
Makam Kiai Ali baru beberapa tahun terakhir direnovasi dan sering dikunjungi khalayak ramai. Menurut Kiai Syakir, hal ini bukan disengaja melainkan memang tak banyak orang mencari tahu. Baru lah setelah Gus Dur bicara tentang Shalawat Badar banyak orang yang mencari dan menelisik sejarah Kiai Ali.
Dalam keputusan Muktamar ke-28 NU di Krapyak, Yogyakarta, Shalawat Badar dikukuhkan menjadi Mars Nahdlatul Ulama (NU).
Keputusan ini ditegaskan kembali oleh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat menjabat ketua PBNU pada Muktamar ke-30 di Lirboyo Kediri. Pada Harlah ke-91 NU, Kiai Ali juga dianugerahi tanda jasa Bintang Kebudayaan atas karyanya ini.
"Awalnya banyak yang tidak tahu siapa penulis Shalawat Badar sebelum Gus Dur menyebutkan Kiai Ali sebagai pengarangnya. Saat itu Gus Dur takut Shalawat Badar diakui orang luar. Gus Dur minta saya bawakan data penguat bila Kiai Ali memang penulis Shalawat Badar ke Jakarta," papar Kiai Syakir.
Usai dibahas oleh Gus Dur, nama Kiai Ali terus jadi bahan pembicaraan di kalangan para ahli sejarah dan budayawan, terutama dari kalangan Nahdliyin.
Sehingga akhirnya banyak para peziarah dari berbagai daerah datang ke Desa Maibit untuk ziarah dan membuktikan kebenaran ucapan Gus Dur.
Saat ini di makam Kiai Ali tertulis prasasti Shalawat Badar yang terletak dibagian barat makam. Setiap hari selalu ada yang berziarah ke makam, terutama para santri yang belajar di pesantren milik putra-putrinya di sekitar pesantren.
"Saya hanya menjelaskan sesuai yang dituliskan Abah saja. Saya fotokopikan catatan abah dan tak kasih kepada yang minta," ungkap Kiai Syakir.