Meletusnya pemberontakan 30 September malam alias G30S PKI membuat geger seluruh Indonesia. Peristiwa ini ternyata sudah diprediksi oleh seorang kiai yang memiliki karomah alias linuwih.
Beberapa waktu sebelum peristiwa itu terjadi, seorang ulama di Sarang, Rembang, Jawa Tengah, Imam Khalil sudah memiliki firasat buruk. Karena itu, ia lantas azan tiga hari berturut-turut di Pesantren Sarang.
Masyarakat pun geger. Berdasar pengalaman mereka, jika Kiai Imam azan subuh tiga kali berturut-turut maka akan terjadi bala, atau musibah yang mengerikan.
Demi mendengar pertanda itu, seorang santri pulang ke rumahnya. Kepada ayahnya, dia bertanya kenapa Kiai Imam Sarang azan subuh tiga hari berturut-turut. Sang ayah lantas menjelaskan bahwa kemungkinan akan terjadi peristiwa besar.
“Iki ape ono parigawe cong” (Ini mau ada peristiwa besar nak)," jawab ayah si santri.
Benar saja, kurang dari satu bulan, banyak anggota PKI yang datang ke wilayah Sarang. Di lain sisi, ini juga telah diprediksi oleh Kiai Imam, yang lantas mengerahkan santri dan penduduk untuk membuat bambu runcing.
Semula, santri dan warga bingung sebelum semuanya terkuak. Sebab, Kiai Imam tidak mengatakan seluruh firasatnya.
“Iki kanggo jogo-jogo (ini untuk jaga-jaga)," ucap Kiai Imam, saat didesak oleh warga, sepekan sebelum peristiwa itu terjadi.
Setelah tersebar kabar pemberontakan PKI, barulah diketahui maksud Kiai Imam Khalil membagikan bambu-bambu tersebut. Masyarakat, kemudian banyak yang sowan untuk meminta bambu kepada Kiai Imam Khalil.
Namun, ternyata bambu-bambu itu tidak cukup dan sudah habis dibagi-bagikan. Akhirnya, Kiai Imam Khalil memanggil semua pengurus pondok.
Kemudian Kiai Imam memerintahkan agar mereka mencari sada aren (lidi pohon aren) sebagai ganti bambu-bambu yang telah habis.
Setelah mencari kesana-kemari hingga ke selatan Kota Tuban, para pengurus yang mendapatkan mandat tugas dari Kiai Imam Khalil tak kunjung mendapatkan sada aren yang dimaksud.
Mereka hanya mendapatkan penjalin (rotan) di jalanan yang mereka lalui. Kiai Imam Khalil pun lantas berkata, “Yowis penjalin wae” (Ya sudah pakai rotan saja)," ujar Kiai Imam.
PKI Tak Mampu Menembus Pesantren Sarang
Kiai Imam kemudian membeli rotan dalam jumlah sangat besar untuk dibagi-bagikan kepada para santri dan masyarakat sekitar.
Beliau kemudian membuat celupan rotan di kulah (kolam) pondok lor agar rotan yang dicelupkan memiliki khasiat yang mampu mengusir para pemberontak PKI.
Bibir Kiai Imam Khalil nampak bergerak-gerak pertanda beliau sedang membaca wirid atau doa khusus.
Tak butuh waktu lama, beliau kemudian meludah di air kulah pondok. Seketika itu beliau berseru memberikan perintah kepada santrinya yang bernama Hamzawi, “Ayo penjaline jukuki, PKI arep berontak (ayo ambil rotannya, karena PKI mau memberontak)."
“Celupno jeding, celupno jeding (celupkan ke kulah celupkan ke kulah)," seru Kiai Imam Khalil dengan tegas.
Kiai Imam juga memberikan amalan khusus kepada santri dan warga yang hendak melawan PKI. Singkat cerita, PKI pun hendak menyerbu Pesantren Sarang.
Ternyata keampuhan penjalin yang dicelupkan ke kulah terbukti. Banyak para pemberontak PKI yang lumpuh seketika tatkala dipecut dengan penjalin tersebut.
Padahal di antara para pemberontak itu ada yang kuat-kuat. Banyak pula yang terkenal sakti.
Tepat 30 September, PKI menyerang wilayah Sarang. Akan tetapi, mereka tidak mampu menembus area Pesantren Sarang, sehingga penyerangan hanya terjadi di desa-desa terpencil selatan pesantren.
Berkah Kiai Imam Khalil yang membuat celupan penjalin sakti mandraguna, Allah SWT menyelamatkan masyarakat Sarang dari kezaliman PKI. Mereka dapat dengan mudah dilumpuhkan hanya dengan satu sabetan rotan saja.
Profil Kiai Imam Khalil Sarang
Mengutip NU Online, Kiai Imam Khalil adalah putra keempat dari pasangan Kiai Syu’aib bin Abdurrazaq dan Nyai Sa’idah binti Ghazali. Beliau dilahirkan pada tahun 1317 H yang bertepatan dengan tahun 1900 M.
Menurut KH Tahrir, dilahirkan di Desa Karangmangu, Kecamatan Sarang. Gus Imam memulai pendidikan agama di bawah bimbingan orang tuanya dan para ulama di Sarang kala itu.
Gus Imam kemudian melanjutkan berguru kepada Syaikhu, masyayikhi Jawa wa Madura (Gurunya para kiai di Jawa dan Madura), Kiai Khalil bin Abdul Lathif al-Bangkalani.
Karena perintah dari sang guru untuk boyong, akhirnya Imam yang masih muda itu hanya nyantri di Madura selama setahun.
Sebagaimana diceritakan Agus Rosyad Kamal. Ia pulang dan melanjutkan studinya lagi di tanah kelahiran Nabi Muhammad SAW selama delapan musim haji. Di antara gurunya di Mekkah adalah Syaikh Baqir al-Jukjawi.
KH Imam Kholil bin Syu'aib Sarang wafat tanggal 9 Zulhijah tahun 1401 H / 1985 M, menjadi hari berduka bagi semua orang terlebih segenap keluarga Pondok Pesantren Ma’hadul ‘Ilmi asy-Syar’ie.
Kiai Imam Khalil, figur kiai kharismatik yang menjadi pengayom dan panutan telah menghadap ke haribaan Allah SWT, di usia 85 tahun.
Dimakamkan di Maqbaroh Stumbun, Sarang Sebelum pemberangkatan jenazah Kiai Imam Khalil, Kiai Maimoen Zubair memberikan sambutan terlebih dahulu sebagai perwakilan masyayikh Sarang.
Belum sempat sepatah kata terucapkan, Kiai Maimoen sudah berlinangan air mata, sampai beliau tak mampu menahan tangis.
Sambil terisak-isak, beliau memberikan sambutan dan meminta persaksian hadirin atas kebaikan sosok Kiai Imam Khalil yang tidak lain adalah adik kandung kakek beliau. Isak tangis pelayat pun tak terbendung silih berganti terkenang sang kiai yang mereka cintai.
KH Rosikh Roghib mengenangnya sebagai pribadi yang teramat zuhud (Halaman 64) dan ahli sedekah (Halaman 113).
Di antara wirid beliau sehari-hari adalah membaca Sholawat Jibril yaitu Shallallahu ala Muhammad, dibaca secara pelan/sirri (KH Masykuri Bonang Demak, 145). Di antara kelebihan atau karomah beliau adalah menemukan/berbicara dengan makam wali (KH Tahrir, 162).