Breaking Posts

6/trending/recent

Hot Widget

Type Here to Get Search Results !

Masyarakat Rempang masih 'cemas' meski pengosongan pulau ditunda - 'Apa tidak bisa stop penggusuran ini?'

 Nurita, warga Kampung Pasir Panjang, mengaku resah dengan rencana relokasi wargaMeski Pulau Rempang batal dikosongkan pada Kamis (28/9) seperti rencana awal pemerintah, masyarakat di Kampung Pasir Panjang, Sembulang, mengaku masih cemas dan waspada.

Sebab sampai saat ini, pemerintah maupun Badan Pengusahaan (BP) Batam memperpanjang tenggat waktu pendaftaran dan belum membatalkan rencana pemindahan masyarakat dari kampung-kampung tua. 

Menteri Investasi Bahlil Lahadalia pada Senin (25/09) lalu menyatakan bahwa rencana pembangunan proyek strategis nasional (PSN) Rempang Eco City tetap berjalan, namun pemerintah "memberi waktu lebih" untuk sosialisasi.

Wartawan BBC News Indonesia, Muhammad Irham, datang ke Pulau Rempang untuk melaporkan langsung bagaimana sikap warga terdampak terhadap rencana pemindahan kampung-kampung tua demi PSN.

Warga Kampung Pasir Panjang berkumpul di posko bantuan hukum yang didirikan oleh sejumlah LSM untuk menunjukkan eksistensi dan kekompakan mereka untuk menolak direlokasi 

Lalu lintas di Jalan Trans Barelang nampak lengang. Mobilitas masyarakat berjalan seperti biasa. Namun sejumlah warga berkumpul di beberapa posko di kampung-kampung yang diprioritaskan untuk direlokasi.

Di Kampung Pasir Merah, Sembulang, ratusan warga berkumpul dan membentangkan spanduk bahwa mereka "menolak keras relokasi".

Sedangkan di Kampung Pasir Panjang, warga berkumpul di posko bantuan hukum yang didirikan oleh sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM).

Sejumlah warga mengatakan bahwa dengan berkumpul, mereka ingin menunjukkan eksistensi sebagai masyarakat kampung tua Melayu yang "kompak menolak keras" untuk direlokasi.
Di situ, Samah, 50, bersama ibu-ibu lainnya menyiapkan masakan untuk warga yang berkumpul.

"Dengan berkumpul ini, warga lebih percaya diri," kata Samah ketika ditemui.

Bagaimanapun, rasa cemas terhadap rencana penggusuran masih terpancar dari wajahnya, sebab pemerintah memperpanjang tenggat waktu pendaftaran relokasi. Itu berarti, pemerintah tetap berencana merelokasi warga meski tidak tahu kapan.

"Buat kami, [tenggat waktu diundur] belum aman juga berarti kami. Makanya kami jaga-jaga, waspada lah. Entah kapan mereka mau gusur kami, kami tidak tahu,"tutur Samah.

"Pokoknya kami berkeras, kami tidak akan mau digusur."

Keresahan yang sama juga dirasakan oleh Nurita, seorang ibu rumah tangga di Kampung Pasir Panjang.

"Kenapa ditambah hari lagi, ditambah tanggal lagi? Jadi kami, masyarakat di sini macam takut, tidak senang kan. Hari demi hari, resah dan gelisah kami tidak menentu. Mau cari makan susah, berkomunikasi dengan tetangga luar susah, mau wirid susah, semua serba susah," tutur Nurita dengan nada berapi-api.

"Ini dia minta tanggal 7, nanti tanggal berapa lagi? Apakah tidak bisa stop masalah penggusuran ini?"

Nurita mengatakan dia ketakutan setiap kali ada kendaraan masuk ke kampung mereka, entah itu aparat atau bukan.

"Dia mengatakan itu aman, tapi bagi itu tidak aman, kenapa, karena kami diusir dari kampung ini," katanya. 

Sementara itu, Kepala Bidang Humas Polda Kepulauan Riau, Komisaris Besar Zahwani Pandra Arsyad, mengatakan"akan mengedepankan upaya-upaya yang lebih preventif dan humanis".

Sebanyak 200 personel Brimob dari Polda Riau telah dipulangkan, setelah sempat dikerahkan untuk operasi di Pulau Rempang.

Dikutip dari kantor berita Antara, Pandra mengatakan aparat masih akan hadir di Pulau Rempang, namun "bukan untuk mengintimidasi atau penekanan-penekanan tertentu".

Di sisi lain, posko gabungan yang dibentuk oleh BP Batam dan aparat sebagai tempat pendaftaran relokasi, nampak tutup pada Kamis (28/09). Penutupan posko kemungkinan karena tanggal merah.

Tetapi dalam pantauan BBC News Indonesia pada Rabu (27/8), posko ini didatangi oleh belasan warga yang mendaftar.

Sebagian menolak diwawancarai karena khawatir mendapat "tekanan" dan "dihujat" di media sosial.

Salah satu warga Sembulang Tanjung, Angga Mitran Beratama, 25, mengaku bersedia direlokasi tanpa tekanan karena sejak awal dia telah berencana untuk pindah dari kampung itu.

"Sudah enggak ada alasan sebenarnya, saya pindah karena proyek ini sudah jelas. Kedua, pekerjaan saya, jauh. Kalau di sini lebih dekat," kata Angga.

"Kalau dibilang sedih ya sedih, orang tua saya meninggal di sana, nenek saya semua di sana."

Angga mengaku keputusannya untuk pindah membuat tetangga-tetangganya menganggap dirinya "tega" hingga dicap "pengkhianat".

"Mereka bilang, 'kenapa sih saya tega?'. Tapi dengan saya pindah pun tidak berpengaruh dengan perjuangan mereka. Saya sendiri yang pindah tidak akan mengubah perjuangan mereka," kata Angga.

Penolakan masyarakat untuk direlokasi membuat BP Batam belum bisa mengantongi sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) Pulau Rempang karena status lahan yang belum "clear and clean".

Ombudsman: Legalisasi kampung tua di Pulau Rempang 'dibiarkan menggantung'

Sementara itu, temuan awal Ombudsman RI yang diumumkan pada Rabu (27/8), mengungkap bahwa upaya legalisasi kampung-kampung tua di Pulau Rempang "dibiarkan menggantung" oleh Pemerintah Kota Batam sejak awal 2000-an.

Sampai akhirnya, Pulau Rempang ditetapkan sebagai kawasan pengembangan PSN yang ditentang masyarakat.

BBC News Indonesia telah menghubungi Wali Kota Batam sekaligus Kepala BP Batam Muhammad Rudi, serta juru bicaranya, Ariastuty Sirait. Namun keduanya belum menanggapi.

Senada dengan sikap masyarakat, temuan Ombudsman juga mengungkap penolakan masyarakat.

Kepada Ombudsman, masyarakat mengaku merasa tertekan oleh desakan-desakan untuk mendaftarkan diri ke program relokasi.

“Kalau nggak ada orang di rumah, form-nya dimasukkan ke bawah pintu. Kalau nggak ada orang tuanya, anaknya dipaksa mewakili orang tuanya lah untuk mengisi form dan tanda tangan,” kata anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro.

Masyarakat juga merasa tawaran pemerintah perihal ganti rugi “baru sebatas janji” karena lokasi pemindahan belum siap.

Selain itu, belum ada dasar hukum terkait ketersediaan anggaran untuk kompensasi rumah pengganti, uang tunggu, dan hunian sementera terhadap warga.

Eskalasi situasi sejak 7 September lalu juga menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan pasokan pangan dari distributor.

“Ada ketakutan dari distributor untuk pasok barang karena status tempat itu yang sudah di-declare akan dikosongkan. Itu berpengaruh pada suplai. Persediaan bahan pangan pokok mereka pun menipis, mereka hanya konsumsi yang tersisa,” tutur Johanes.

BP Batam belum kantongi sertifikat HPL

Ombudsman mengatakan sampai saat ini, BP Batam belum mengantungi sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) di Pulau Rempang karena lahan yang “belum clear and clean”.

“BPN [Badan Pertanahan Nasional] akan mengeluarkan sertifikat kalau di area itu sudah tidak ada penghuni lagi,” tutur Johanes.

Sejauh ini, BP Batam baru mengantongi Surat Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN terkait pemberian HPL pada 31 Maret 2023. Namun SK tersebut hanya berlaku hingga 30 September 2023.

“Kalau dalam jangka waktu ini [sertifikat] nggak terbit, ya memang kemudian gugur, kalau dia nggak mengajukan perpanjangan. Artinya sertifikat HPL tidak akan pernah terbit,” kata Johanes.

Menurut Johanes, itulah yang akhirnya membuat BP Batam “tergesa-gesa mendesak warga di kampung-kampung tua untuk keluar dari area itu”.

Ini sekaligus menjawab mengapa sebelumnya masyarakat sempat diberi tenggat waktu untuk mengosongkan pulau pada 28 September, meski belakangan pemerintah menyatakan tanggal itu “bukan batas akhir pendaftaran apalagi relokasi”.

Bukti eksistensi kampung tua Rempang

Temuan Ombudsman lainnya menunjukkan bahwa kampung-kampung tua di Pulau Rempang telah eksis sejak lama, bahkan sebelum ada nota kesepahaman (MoU) antara BP Batam dengan PT Makmur Elok Graha (MEG) untuk mengelola pulau ini dan sekitarnya pada 26 Agustus 2004.

Johanes mengatakan masyarakat di Pulau Rempang memiliki data kependudukan.

“Rata-rata ber-KTP semua, bahkan kami menemukan KTP seseorang yang lanjut usia, sudah sejak 1980-an,” papar Johanes dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (27/9).

Penguasaan fisik masyarakat atas bidang tanah, sambungnya, juga dibuktikan dengan pembayaran pajak bumi dan bangunan.

Ombudsman juga menemukan makam-makam tua, tapak tugu, patok tanda batas antarkampung, hingga ijazah Pendidikan yang terbit pada 1989.

Selain itu, ORI juga menemukan bahwa kampung-kampung tua ini memiliki rekam jejak secara yuridis.

Pada 2004, Wali Kota Batam menerbitkan surat keputusan yang menetapkan kampung-kampung tua, di antaranya Kampung Sembulang, Dapur 6, dan Tanjung Banun.

Johanes mengatakan di dalam SK itu tertuang bahwa kampung tua yang ditetapkan “tidak direkomendasikan untuk masuk ke hak pengelolaan lahan (HPL) BP Batam”.

Masih pada tahun yang sama, terbit Perda Batam Nomor 2 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah yang menurut Johanes, “memberi kepastian hukum terhadap perlindungan Kawasan perkampungan tua”.

Kemudian pada 2005, muncul keputusan bersama antara BP Batam dan Pemerintah Kota Batam untuk membentuk tim inventarisasi kampung tua.

Menurut Johanes, itu menunjukkan bahwa pada era 2000-an, semangat untuk memetakan dan mengidentifikasi kampung-kampung tua telah diketok melalui surat keputusan, pembentukan tim, dan lain-lain.

“Bahkan hasil dari tim kajian itu pada tahun 2007, menyatakan bahwa perkampungan tua yang terdapat di Pulau Rempang dan Pulau lainnya, yang termasuk dalam nota kesepakatan antara PT MEG dan BP Batam, direkomendasikan harus tetap dipertahankan, sehingga tidak termasuk dalam wilayah pengembangan kawasan,” jelas Johanes.

Namun rekomendasi itu, kata dia, “dibiarkan menggantung” sampai saat ini.

Ombudsman mengatakan upaya legalisasi kampung-kampung tua di Pulau Rempang "dibiarkan menggantung" oleh Pemerintah Kota Batam sejak awal 2000-an 

Komitmen untuk merawat kampung-kampung tua di Batam juga tercermin dalam Keputusan Bersama antara Wali Kota Batam dengan BP Batam pada 2011. Langkah itu diperkuat oleh maklumat Gubernur Kepulauan Riau, Pemkot Batam, hingga Lembaga Adat Melayu melalui maklumat pada 2015.

Wali Kota Batam lalu menerbitkan SK terkait penyelesaian legalitas kampung-kampung tua pada 2020.

“Kalau kita baca SK itu secara detail, pada dasarnya ada semangat untuk melindungi, melestarikan, mempertahankan nilai-nilai budaya asli masyarakat Batam. Ini sebuah langkah yang tidak tuntas sampai muncul persoalan kemarin,” jelas Johanes.

Namun Johanes mengatakan, perkampungan tua tiba-tiba sudah tidak diatur lagi dalam Perda Kota Batam Nomor 4 Tahun 2021 tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW).

“Dulu semangatnya mau melegalisasi, tapi kemudian di akhir, di Perda 2021, hilang,” tutur Johanes.

“Ini sesuatu yang saya kira “unik”, karena mereka yang terlibat dalam proses itu, orang-orang yang seharusnya tahu bahkan mengeluarkan keputusan-keputusan sebelumnya,” sambungnya.

Eco City 'tak tertuang' dalam rencana tata ruang

Satrio Manggala dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) menyoroti bahwa pembangunan Rempang Eco City tidak dialokasikan dalam perencanaan tata ruang dan wilayah pada tingkat daerah hingga nasional.

Dalam Perda 3/2021 tentang RTRW Kota Batam, pembangunan infrastruktur hanya meliputi jalan artileri, ketenagalistrikan, dan waduk. Sementara kawasan industri meliputi pengembangan industri perikanan di Pulau Rempang dan Pulau Galang serta penataan kawasan wisata Rempang, Galang, dan Galang Baru.

Dalam RTRW Nasional berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2017 pun, "tidak ada yang secara spesifik menunjukkan alokasi ruang untuk pengembangan Rempang Eco City".

“Yang ada justru Taman Buru Pulau Rempang yang masuk sebagai Kawasan Lindung Nasional,” ujarnya.

Sumber Berita / Artikel Asli : MSN / BBC

Baca Juga

Posting Komentar

0 Komentar
* Please Don't Spam Here. All the Comments are Reviewed by Admin.

Top Post Ad

Below Post Ad

Ads Bottom

Copyright © 2023 - Repelita.net | All Right Reserved