Konflik agraria disebabkan oleh berbagai kesenjangan yang kompleks antara sumber-sumber agraria.
Konflik agraria biasanya berfokus pada penguasaan dan pengelolaan agraria yang mencakup tanah, air, sampai udara.
Berdasarkan artikel ilmiah berjudul Konflik Agraria Dalam Pengelolaan Tanah Perkebunan Pada Pt Hevea Indonesia (Pt Hevindo) Dengan Masyarakat Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor yang ditulis Suharto, pengelolaan agraria oleh negara untuk kepentingan masyarakat biasanya dalam kenyataannya masih jauh dari apa yang diamanatkan dalam undang-undang. Hal itu menimbulkan beragam konflik agraria.
Padahal negara seharusnya mengelola agraria untuk menyejahterakan masyarakat. Sebagaimana yang tercantum dalam mandat UUD 1945 dalam Pasal 33 yang implementasinya sudah di atur dalam Peraturan Pokok-Pokok Agraria atau lebih dikenal UU Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960.
Pelanggaran terhadap mandat tersebut menimbulkan konflik agraria. Beberapa konflik agraria yang cukup disorot publik adalah konflik agraria yang terjadi di beberapa daerah berikut:
Dago Elos
Konflik lahan atau agraria di Dago Elos, Bandung bermula pada 2016. Dilansir dari Tempo, hal itu terjadi karena Hakim Pengadilan Negeri Bandung memutuskan tanah-tanah yang menjadi objek sengketa di Dago Elos adalah sah milik Keluarga Muller.
Hal itu disebabkan keluarga Mullter memiliki Eigendom Verponding. Namun, menurut Amalia Nurfitria Syukur, Hajriyanti Nuraini, Yusmiati Yusmiati dalam Jurnal Poros Hukum Padjadjaran, Eigendom Verponding adalah hak tanah yang berasal dari hak-hak barat.
Eigendom Verponding tidak bisa menjadi hak karena menurut Undang-undang Pokok Agraria, tas tanah tersebut harus dikonversi menjadi hak milik selambat-lambatnya pada 24 Desember 1980 yaitu sejak aturan itu berlaku.
Hak Eigendom Verponding membuat keluarga Muller menggugat. Putusan sidang pada 2017 memihak keluarga Mullter dan juga memerintahkan warga dan pihak lainnya yang berkedudukan sebagai tergugat untuk meninggalkan lahan Dago Elos dan membayar biaya perkara yang jumlahnya Rp 238 juta.
Warga Dago Elos sampai saat ini masih bertahan dan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Bandung. Beberapa kali warga sempat kalah dan juga menang karena keluarga Muller juga tetap ingin menguasai tanah tersebut.
Kini, kasus tersebut belum selesai dan warga Dago Elos tetap mempertahankan hak atas tanah yang sudah ditinggali puluhan tahun.
Wadas
Konflik agraria di Wadas terjadi pada Februari 2022. Saat itu kepolisian menangkap sejumlah warga Desa Wadas, Kabupaten Purworejo.
Hal itu terjadi ketika ratusan aparat kepolisian hendak melakukan pengukuran lokasi rencana pembangunan material untuk Bendungan Bener. Setidaknya kepolisian menangkap 40 orang warga Wadas.
Konflik bermula pada 2013 ketika warga Wadas telah mendengar akan ada pembangunan bendungan di daerah Purworejo.
Pada 2015, perusahaan swasta melakukan pengeboran di dua lokasi dengan kedalaman 75 sampai 50 meter di Desa Wadas.
Penangkapan terhadap warga Wadas yang menolak pembangunan Bendungan terjadi pada September 2019. Menurut rilis LBH Yogyakarta setidaknya polisi menangkap 11 warga Wadas.
Kinipan
Konflik agraria di Kinipan, Kalimantan terjadi ketika PT Sawit Mandiri Lestari hendak melakukan membuka hutan (land clearing) dengan menebang banyak pohon ulin di awal 2018. Dari situ, terjadi konflik antara Sawit Mandiri Lestari dengan warga Kinipan.
Kendeng
Konflik agraria yang terjadi di Kendeng disebabkan PT Semen Indonesia hendak melakukan pembangunan dan pengoperasian pabrik semen di Kabupaten Rembang.
Dilansir dari Koran Tempo, konflik Kendeng bermula ketika PT Semen Indonesia mendapatkan izin penambangan kapur di Pegunungan Kendeng.
Pulau Rempang
Terbaru, konflik agraria terjadi di Pulau Rempang pada 8 September 2023, disebabkan oleh pengaruh sistem pengelolaan tanah di Batam yang berbeda dari wilayah di Indonesia lain.
Dilansir dari Koran Tempo, hal itu bermula sejak hadirnya Badan pengusahaan Kawasan Perdagangan dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam) sebagai Otorita Batam.
Otorita itu memiliki hak pengelolaan atas seluruh tanah di wilayah tersebut. Pulau Rempang menjadi salah satu pulau yang dikelola BP Batam.
Dalam laporan Majalah Tempo, Pulau Rempang hendak dikosongkan untuk membuat proyek Rempang Eco City. Pulau itu sendiri dianggap sebagai kawasan hutan meskipun dihuni oleh sekira 7.500 penduduk.
Konflik agraria di Pulau Rempang memperpanjang catatan konflik agraria yang melibatkan kekerasan di Indonesia. Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) telah mencatat setidaknya terdapat 212 konflik agraria sepanjang 2022.