Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan menyebut bahwa Indonesia sedang dalam kondisi darurat korupsi dan tindak tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ia menilai Indonesia seperti dianggap surga untuk melakukan transaksi uang kotor.
"Sejauh ini, Indonesia dianggap surga pencucian uang kotor. Mungkin karena penegakan hukum dan iklim politik sangat lemah, karena sudah dikuasai para mafia," kata Anthony saat dikonfirmasi, Selasa (4/4/2023).
Hal itu disampaikan Anthony karena kekesalannya melihat para elit politik dan aparat penegak hukum yang bungkam atas sejumlah persoalan keuangan yang ada. Termasuk saat menanggapi laporan dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"Buktinya, laporan PPATK sejak 2009 sampai 2023 tidak dianggap. Semua pihak terdiam. Presiden, DPR, Aparat Penegak Hukum (APH) dan kementerian keuangan tidak terdengar suaranya," ucapnya.
Padahal PPATK secara berkala, setiap enam bulan wajib menyampaikan laporan kepada Presiden dan DPR. Hal ini sesuai dengan perintah pasal 47 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Laporan PPATK juga disampaikan kepada Kementerian Keuangan dan Aparat Penegak Hukum (APH). Total ada 300 laporan, 200 untuk Kementerian Keuangan dan 100 untuk APH, KPK, Kejaksaan, atau Kepolisian.
"Semua laporan PPATK tersebut nampaknya terpendam. Tidak ada tindak lanjut yang berarti. Tidak terdengar ada pidana pencucian uang dibongkar kementerian keuangan, dan pelakunya dihukum pidana," ucapnya.
Padahal jumlahnya sangat fantastis yaitu mencapai Rp349 triliun. Itupun hanya terkait di kementerian keuangan, belum termasuk di kementerian-kementerian lainnya. Namun, semuanya seperti tak tahu apa-apa sampai akhirnya Menkopolhukam Mahfud MD membongkar ke publik.
"Semua bungkam, sampai Mahfud MD membongkar transaksi keuangan mencurigakan Rp349 triliun, melibatkan 491 pegawai kementerian keuangan. Baru semuanya seperti terkaget-kaget," ujarnya.
DPR yang semestinya menjalankan fungsi pengawasan justru malah menentang habis langkah Mahfud MD sampai memberi ancaman pidana. Presiden dan elit parpol juga sama abainya dalam kasus ini.
"Reaksi DPR seperti panik dan terkesan menghujat Mahfud. Katanya, jangan buat gaduh. Jangan buka aib sesama lembaga. Bahkan mengingatkan, tapi terdengar seperti mengancam, siapa yang buka informasi PPATK bisa dipidana," kata Anthony.
"Presiden juga tidak terdengar suaranya, sampai Mahfud dipanggil DPR.Kenapa semuanya terdiam? Bukankah presiden dan DPR sudah menerima laporan PPATK setiap enam bulan? Petinggi Partai Politik juga bungkam. Seolah-olah dugaan pencucian uang Rp349 triliun bukan masalah penting," sambungnya memungkasi.