Pada Februari lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) tampak kecewa ketika menyampaikan indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 yang anjlok.
Raut mukanya tampak kesal dalam jumpa pers yang disiarkan akun YouTube Sekretariat Presiden, Selasa (7/2/2023).
Turut hadir dalam jumpa pers tersebut, Menko Polhukam Mahfud MD, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Ketua KPK Firli Bahuri, dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
Jokowi pun berpesan bahwa IPK yang anjlok harus jadi masukan bagi penegak hukum untuk memperbaiki diri.
Selain itu, Jokowi mendorong RUU Perampasan Aset agar segera diundangkan. Kemudian, dia juga meminta RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dikebut pembahasannya.
"Saya mendorong agar RUU tentang perampasan aset dalam tindak pidana dapat segera diundangkan dan RUU pembatasan transaksi uang kartal segera dimulai pembahasannya," kata Jokowi.
Adapun terkait dengan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal atau transaksi uang tunai, pembahasannya masih terkatung-katung.
Minggu lalu, dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III, Menko Polhukam kembali mengaungkan RUU ini.
Mahfud MD mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk memperjuangkan RUU ini.
Dia pun menyampaikan langsung kepada Ketua Komisi III DPR RI, Bambang Wuryanto alias Bambang Pacul.
"Sulit memberantas korupsi itu, tolong melalui Pak Bambang Pacul... Pak, tolong juga pembatasan uang kartal didukung," papar Mahfud, dikutip Senin (3/4/2023).
Namun, jawaban Bambang Pacul tampaknya setengah hati. Menurut Bambang, Presiden Joko Widodo juga pernah menanyakan soal dua RUU ini.
Dia pun mengungkapkan secara terang-terangan bahwa kedua RUU itu ditolak karena masih menyimpan polemik. Misalnya, RUU Pembatasan Uang Kartal bisa merepotkan para anggota dewan saat kampanye.
"Pak Presiden, kalau pembatasan uang kartal pasti DPR nangis semua, Kenapa? Masa dia bagi duit harus pakai e-wallet. E-wallet-nya cuman Rp20 juta lagi. Nggak bisa Pak. Nanti mereka nggak jadi lagi. Loh, saya terang-terangan ini," ungkap Bambang.
Jawaban Bambang pernah disampaikan pula pada tahun lalu. Dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan PPATK pada Juni 2022, Bambang juga menyampaikan keengganan DPR RI untuk mendukung pembahasan dan pengesahan RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal.
Dikutip dari Indonesian Corruption Watch (ICW), Bambang bahkan secara terang-terangan menyebutkan praktik politik uang sebagai sumber kekhawatiran anggota legislatif termasuk dirinya.
Menurutnya, transaksi tunai masih sangat diperlukan dalam kontestasi pemilu, termasuk untuk memberikan sogokan kepada pemilih.
Padahal, ICW menilai dari sudut pandang anti-korupsi, RUU Pembatasan Transaksi Tunai justru semakin penting untuk dibahas dan disahkan karena legislasi ini diharapkan dapat mencegah berulangnya praktik kotor politik uang, yang dapat berujung pada tindak pidana korupsi dan pencucian uang.
Sebenarnya, menurut ICW, Indonesia sudah menerapkan pembatasan transaksi uang kartal atau uang tunai dengan semangat pencegahan pencucian uang.
Prinsip know your customer yang berlaku bagi penyelenggara jasa keuangan adalah salah satu wujud penerapan Pasal 18 ayat (3) huruf b UU 8/2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU 8/2010).
Pasal tersebut menyebutkan bahwa penyelenggara jasa keuangan perlu mendalami transaksi dari pelanggan dengan nilai ≥Rp100.000.000, atau mata uang yang setara dengan nilai tersebut.
Kemudian, Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2016 tentang Pembawaan Uang Tunai dan/atau Instrumen Pembayaran Lain Ke dalam atau Ke luar Daerah Pabean Indonesia (PP 99/2016) juga mengatur hal serupa.
Pasal 2 ayat (1) PP 99/2016 menyebutkan bahwa, setiap orang yang membawa uang tunai dan/atau instrumen pembayaran lain paling sedikit Rp100.000.000 atau yang nilainya setara dengan itu ke dalam atau ke luar daerah pabean, wajib memberitahukan kepada pejabat bea dan cukai.
Sebagai perbandingan, berdasarkan data ICW, sejumlah negara dengan kondisi geopolitik yang relatif serupa dengan Indonesia, telah menerapkan pembatasan transaksi uang tunai.
Malaysia misalnya, membatasi transaksi uang tunai dengan batas maksimal RM50.000, Filipina menerapkan batasan transaksi tunai dengan nilai maksimal Php4.000.000. Sedangkan India menerapkan batasan sebesar 200.000 Rupee India untuk transaksi tunai.
"Penerapan pembatasan transaksi tunai adalah wujud dari komitmen negara-negara tersebut dalam memberantas korupsi, pencucian uang, dan pendanaan terorisme," tulis ICW dalam tajuknya.
Meskipun praktik pembatasan transaksi uang kartal sudah berjalan di Indonesia, ICW memandang RUU Pembatasan Transaksi Tunai dapat memperkuat regulasi yang sudah ada dengan membatasi transaksi uang kartal secara lebih menyeluruh, agar modus kejahatan finansial yang umumnya dilakukan dengan transaksi tunai untuk mengaburkan dan menghilangkan jejak, dapat diminimalisasi.
Sebagai catatan, RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dalam daftar Program Legislasi Nasional 2015-2019. RUU ini diketahui hampir rampung pada 2018.
Bahkan saat itu, draf tersebut sudah diterima Sekretaris Negara untuk diteruskan ke Presiden Joko Widodo. Namun, draf harus diubah karena ada tambahan instansi yang terlibat, yakni Bank Indonesia (BI).
Saat itu, BI dikabarkan tidak setuju dengan pembatasan transaksi tunai maksimal Rp 100 juta. Sementara itu, PPATK merasa nilai tersebut terlalu tinggi. Hingga waktu bergulir, RUU tersebut sudah mati suri tanpa ada kejelasan.